Belum lama ini, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) Abdullah Azwar Anas mengungkapkan 500 triliun dana untuk pengentasan kemiskinan ternyata banyak digunakan untuk mengongkosi perjalanan dinas birokrat dan memfasilitasi mereka rapat di hotel.
Di sisi lain, ada begitu banyak warga kelaparan. Riset Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pada September 2022 ada 26,36 juta warga Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan (miskin ekstrem). Data tersebut merupakan angka kemiskinan tertinggi dalam sembilan tahun terakhir.
Mengacu pada Bank Dunia, penduduk miskin ekstrem hanya memiliki daya beli di bawah 1,9 USD. Jika nilai tersebut dikonversi, penduduk miskin ekstrem di Indonesia hanya memiliki pendapatan sekitar 11.900 rupiah per hari atau 358.200 rupiah per bulan.
Melihat kondisi tersebut, negara sebetulnya sudah melakukan berbagai upaya. Tahun lalu Presiden Joko Widodo mengeluarkan Inpres No. 4 tahun 2022 tentang Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem. Hampir seluruh kementerian hingga pemerintah tingkat provinsi dan wali kota dimandatkan untuk menghapus masalah kemiskinan.
Kontradiksi Anggaran dan Tingkat Kemiskinan
Anggaran yang digelontorkan untuk pengentasan kemiskinan juga tidak tanggung-tanggung. Sejak tahun 2017-2022 anggaran untuk perlindungan sosial berkisar 200-490 triliun. Dari rilis Kementerian Keuangan, tahun 2020 anggaran itu pernah mencapai angka 498 triliun saat pandemi. Dan pada tahun 2022 anggaran yang digelontorkan sebanyak 431,5 triliun.
Tentu itu bukan angka yang sedikit. Jika dimanfaatkan dengan maksimal, persoalan kemiskinan di Indonesia semestinya bisa menemukan titik penyelesaian. Namun apa daya, pejabat kita sering kali hanya pandai bicara, tetapi minim tindakan. Regulasi yang dibuat juga kerap kali terbentur dengan bobroknya sistem birokrasi yang ada.
Di media mereka berkoar-koar seolah paling memikirkan rakyat. Kenyataannya warga miskin tetaplah miskin. Mereka memang melaksanakan amanat konstitusi yang berbunyi “rakyat miskin dipelihara negara”, tetapi lebih tepatnya mereka memelihara orang miskin untuk tetap miskin.
Sebagaimana yang dilaporkan Kemenkeu selama periode 2021–2022, belanja perjalanan dinas secara umum di kementerian dan lembaga pemerintah meningkat 10 triliun rupiah. Modus perjalanan dinas itu biasanya adalah uang transportasi, penginapan, dan uang tak terduga yang bisa didapatkan para birokrat saat melakukan perjalanan dinas.
Tempat-tempat yang dipilih untuk tempat rapat biasanya di sekitar pinggiran Jakarta, seperti Tangerang, Depok, atau Bogor, yang penting ada embel-embel ‘perjalanan ke luar kota’. Itu pernah diungkapkan Sekjen Transparency International Indonesia, Danang Widoyoko, dalam wawancaranya dengan BBC Indonesia. Dia menyebut perjalanan dinas itu banyak ‘uang plus-plusnya’. Makanya tidak heran banyak birokrat kita yang sedikit-sedikit ke luar kota untuk perjalanan dinas, meski yang dibahas bukan hal yang penting-penting amat.
Belum lagi program pengentasan kemiskinan seperti bansos, Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Prakerja, program Kartu Sembako dan banyak program kementerian lainnya yang kerap kali tidak tepat sasaran. Kita sering mendengar berita soal kepala desa dapat bansos, lurah yang punya rumah mewah dapat bansos, dan terakhir Menteri Sosial Juliari Batubara terseret kasus karena ‘nilep’ uang bansos. Program-program semacam itu tak bisa menyelesaikan masalah kemiskinan hingga akarnya, berulang kali hanya menjadi lahan basah untuk dikorupsi.
Rentetan persoalan akibat kemiskinan ekstrem tidak akan pernah terselesaikan kalau sesat pikir di tiap kementerian itu sendiri masih subur. Padahal pemerintah sadar jika kualitas sumber daya manusianya meningkat, daya beli kuat, panggung persaingan global akan sangat mudah diraih.
Banyaknya pengangguran akan memperlambat pendapatan nasional, dan dampak kemiskinan jelas sekali menghambat pertumbuhan negara. Bagaimana kualitas sumber daya manusia bisa meningkat kalau persoalan mendasar hidup mereka seperti makan, tempat tinggal, pendidikan, kesehatan saja sulit untuk dipenuhi?
Universal Basic Income (UBI)
Ada satu gagasan menarik yang menurut saya perlu dipertimbangkan pemerintah dalam menanggulangi masalah kemiskinan ekstrem di Indonesia. Selama pandemi, gagasan ini kembali menjadi perbincangan hangat—setelah lama tenggelam—di antara pengamat ekonomi, akademisi, aktivis, dll. Gagasan ini bernama Universal Basic Income (UBI).
Kita bisa saja mengadopsi gagasan tersebut untuk mengentaskan masalah kemiskinan. Tidak serumit kedengarannya, penerapannya cukup dengan menyalurkan uang tunai kepada masyarakat kategori miskin ekstrem.
Berdasarkan riset dari Faculty of Administrative Sciences, University of Brawijaya, proyek UBI yang dijalankan selama dua tahun di Namibia dengan estimasi USD163 per bulan telah berhasil mengurangi malnutrisi, kelaparan, tingkat kemiskinan, dan tingkat kriminalitas. Selain itu juga untuk meningkatkan kegiatan ekonomi, pendapatan, dan kehadiran di sekolah. Proyek UBI berhasil pula membantu membangun ekonomi dan sumber daya manusia di 8 desa Madhya Pradesh, India, dalam penerapan selama 18 bulan dengan memberikan uang kebutuhan dasar sebesar USD26-77 atau sekitar Rp394 ribu-Rp1,16 juta.
Tim peneliti dari The Prakarsa tahun 2020 memberi simulasi total anggaran per provinsi jika menerapkan UBI sebesar Rp500 ribu per individu yang berusia di atas 14 tahun. Negara membutuhkan anggaran sebesar Rp96,782 miliar per bulan atau Rp 1,152 triliun per tahun. Jauh dari total anggaran perlindungan sosial yang disiapkan negara sebesar Rp 431,5 triliun.
Di beberapa negara yang sudah menerapkan UBI, dana yang dipakai untuk disalurkan berasal dari gotong royong warga negaranya, yakni melalui pajak yang dibayarkan warga negara, seperti pembayaran dari pengusaha, wiraswasta, maupun dari anggaran-anggaran pemerintah seperti dari dana kesehatan, dana pensiun dan anggaran untuk orang miskin, anak-anak dan pengangguran.
Selain itu sumber dana juga bisa berasal dari dana deviden yang didapatkan negara dari perusahaan industri ekstraktif. Penerapan dari UBI ini tentunya juga memiliki dampak dalam sektor pembangunan seperti yang terjadi di Madhya Pradesh, India, dan juga di Namibia. Efek yang paling terasa adalah pada SDA di daerah yang sudah pernah menerapkan UBI.
Tentu saja skema ini akan efektif kalau diterapkan dengan sistem yang baik, tidak ada korupsi, atau penyelewengan dana. Ini bukan soal secanggih apa sebuah program, namun siapa yang menjalankan. Selain itu, perlu dibarengi dengan sosialisasi kepada masyarakat dalam mengelola keuangan agar tidak disalahgunakan untuk urusan gaya hidup.
Penekanan ini penting mengingat mentalitas masyarakat indonesia yang cenderung memiliki hasrat kebendaan yang tinggi, memilih mendahulukan kesenangan sementara daripada repot-repot membangun kualitas diri sehingga program tidak akan berjalan dengan semestinya. Lagipula keharmonisan antara kejujuran pemerintah dan keinginan kuat untuk maju dari masyarakatlah yang paling menentukan keberhasilan suatu sistem.
Offenbar hast du diese Funktion zu schnell genutzt. Du wurdest vorübergehend von der Nutzung dieser Funktion blockiert.
Wenn dies deiner Meinung nach nicht gegen unsere Gemeinschaftsstandards verstößt,
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Megawati Soekarnoputri meminta seluruh kader partainya untuk turun ke bawah. Tujuannya untuk menyentuh seluruh lapisan masyarakat atau akar rumput untuk memenangkan PDIP dan Ganjar Pranowo pada Pilpres 2024.
Megawati bahkan mengingatkan kembali pernyataan Presiden pertama Republik Indonesia soal ‘Tuhan bersemayam di gubuknya si miskin’. "Karena apa kata Bung Karno, di dalam gubuknya rakyat miskin itulah energi perjuangan kepartaian berasal dan Tuhan bersemayam di gubuknya rakyat-rakyat miskin," ujar Megawati dalam pidatonya di puncak peringatan Bung Karno, Sabtu (24/6/2023).
Presiden kelima RI itu menegaskan watak politik yang berpihak pada akar rumput atau rakyat seperti itulah yang dipahami PDIP. Hal tersebut juga tercermin lewat rapat kerja nasional (Rakernas) III yang digelar awal Juni lalu.
Rakernas tersebut mengingatkan agar negara terhadap salah satu poin dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, yakni, fakir miskin dan anak terlantar harus dipelihara negara. "Itu nanti yang akan menjadi pegangan kita untuk supaya kita bisa menang kembali," ujar Megawati.
Megawati juga menyinggung kembali soal pengentasan stunting yang dialami sejumlah anak di Indonesia. Stunting adalah kondisi kurangnya tinggi badan anak yang disebabkan kekurangan gizi. Dia pun meminta seluruh elemen partai untuk turun membantu masyarakat mengentaskan stunting.
Menghapus kemiskinan ekstrem bukan semata-mata diukur oleh pendapatan masyarakat melainkan, kata Megawati, juga memberikan rasa keadilan bagi seluruh rakyat di segala aspek kehidupan. "Menghapuskan kemiskinan ekstrem, itu bukan sekadar ukuran pendapatan dalam sehari, namun rasa bahagia terlindungi menyangkut keadilan pekerjaan yang layak akses terhadap pendidikan sarana kesehatan, kebijakan sosial negara," ujar Megawati.
"Semua itu kalau bisa terjadi, pasti, apa yang dikatakan tadi oleh Bung Karno di gubuk-gubuk orang miskin itu lah ada Allah SWT, itu pasti kelihatan terus rasa bahagia," sambungnya.
Presiden ke-5 Republik Indonesia Megawati Soekarnoputri berbicara terkait angka kemiskinan di Indonesia. Megawati mengatakan seharusnya fakir miskin dapat dipelihara oleh negara sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Hal itu disampaikan Megawati dalam acara peluncuran 58 buku dalam rangka Hari Jadi ke-58 Lemhannas RI Tahun 2023 di Gedung Lemhannas RI, Jakarta Pusat, Sabtu (20/5/2023). Megawati meminta Ketua MPR Bambang Soesatyo (Bamsoet) untuk mengeluarkan Ketetapan (TAP) MPR terkait fakir miskin.
"Tuh Pak Bambang kalau supaya sebagai MPR tahu dong, jangan manggut-manggut aja, dikerjain karena itu (amanat) Undang-Undang Dasar loh, fakir miskin dipelihara oleh negara, banyak yang lupa," ujar Megawati dalam sambutannya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Megawati meminta MPR untuk membantunya dalam memelihara fakir miskin di Indonesia. Dia menilai saat ini posisi MPR sudah tidak seperti dulu lagi.
"MPR bantuin saya, MPR mustinya (jadi lembaga) tertinggi, nggak kaya sekarang ini," katanya.
Dalam kesempatan itu, Bambang Soesatyo yang hadir dan mendengar arahan Megawati, langsung memberikan sikap hormat. Megawati pun membalas sikap hormat itu, dengan menekankan agar arahannya dapat dilakukan.
"Nggak usah siap-siap. Kerjain. Loh betul loh, pusing loh, mana bisa mengeluarkan TAP, nggak bisa kaya diborgol gini sampai pusing," ucap Megawati
Megawati mengaku sempat tidak terima saat MPR disamakan kedudukannya dengan DPR dan DPD. Menurutnya, seharusnya MPR bisa setingkat lebih tinggi kedudukannya.
"Kan MPR reformasi yang aku ngamuk diturunin kan sama kaya DPR, MPR, DPD. Nih orang-orang politik waktu itu maunya opo to yo," ujarnya.
Lebih lanjut, Megawati mengatakan seharusnya Indonesia dapat belajar dari China. Dia menyebut jika China saat ini telah memiliki program atasi kemiskinan hingga 100 tahun ke depan.
"Jadi Xi Jinping kirim surat sama saya apa? Dia sudah disuruh sama bangsa Tiongkok untuk membuat 100 tahun ke depan Tiongkok dan udah kemarin. Kemarin lagi tanggal bulan opo yo disuruh lagi untuk jadi 100 tahun belum selesai bikin 100 tahun lagi. Terus dia udah bisa declare wah gila, mestinya Indonesia nih, apa bahwa kemiskinan itu nol persen," tuturnya.
%PDF-1.3 %âãÏÓ 2 0 obj << /CreationDate (D:20160530054453-07'00') /ModDate (D:20160530054453-07'00') /Producer (BCL easyPDF 7.00 \(0355\)) /Creator (easyPDF SDK 7 7.0) >> endobj 8 0 obj [ 0 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 0 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 226 326 401 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 855 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 525 507 507 507 507 230 507 507 507 507 507 507 507 507 349 507 507 507 507 507 433 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 226 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 507 ] endobj 11 0 obj [ 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 778 778 250 333 555 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 722 667 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 944 778 778 778 778 722 556 667 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 556 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 444 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 250 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 ] endobj 14 0 obj [ 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 778 778 250 333 408 778 778 778 778 778 333 333 778 778 250 333 250 278 778 500 778 500 500 500 778 778 778 500 278 778 778 778 778 778 778 722 667 778 722 778 556 722 722 333 778 722 778 889 722 778 556 778 667 556 611 722 778 778 778 722 778 778 778 778 778 778 778 444 500 444 500 444 333 500 500 278 278 500 278 778 500 500 500 778 333 389 278 500 500 722 778 500 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 444 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 444 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 250 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 333 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 ] endobj 17 0 obj [ 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 778 778 250 333 420 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 500 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 833 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 500 778 444 500 444 778 778 778 278 778 778 278 722 500 500 500 778 389 778 778 778 778 778 778 444 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 250 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 778 ] endobj 1 0 obj << /Count 0 >> endobj 3 0 obj << /Type /Catalog /Pages 4 0 R >> endobj 19 0 obj << /Length 1927 /Filter /FlateDecode >> stream xÚ�XÛnã8}÷Wè‘�HQ·yYt#;· ƒl·ƒÅb²L¬±]ìÑezò÷{ªHÙòm²hÀ%Yßø¹OO÷þI:ñs›²}+kÓW¦½¹ÓY$^Ìæ»XD¢/›Ñx›mgÚ5?ÇTä!`'£¹�“L´˜`Iä1, jV<+Ub×Ù¶·»öÝ!”Ÿ@– K&ÈBø)ñµÜX‹ʰu=vãæ’W_LEàüÜ®¶mÙ[`õ±¯Í&
%PDF-1.7
%âãÏÓ
1 0 obj
<>
endobj
2 0 obj
<>
endobj
3 0 obj
<>
/Font <>
/XObject <>
/ProcSet [/PDF /ImageB /ImageC /Text]
>>
/Parent 20 0 R
/MediaBox [0 0 595.2200 842]
>>
endobj
4 0 obj
<>
stream
xœ½YK¯ÅÖÅøbN�yÙØÁ1žžŸ¡«ßM’M”lP6Žî³")’‰lþ¿ÄWÓ3ÓÕçtû:‰{3w¦º_=»ÎóAͤÅÿ·‡ž¾þ{~úå@ÿñÓ�¹Ù
Æxš)DÁ¤¼^üóðã—‡å8Ó=çOnùŸÝÀçø”š}È|ãð—žžâløßB+Ÿx6üù
„i€È䇫jN)Y²™ï�ÌlüŒ™�®ž¾/¦£žµòQ�¯MG3'm=�7&š=áèø:wÞ¥ñæþ´’//§£šµÁ™ñ�ýí-ñöÍégm•u›T<ý¢ PôBèÉ)5ŠäbõŠ‘šUL$yüf:ÚY9gãøVyO_d‘Œ[ÿP^y¢8ÞžŽaN%/¼]ؼÓdþ¢€à?�HR¼Ç|-o¥:ïK�6uïLf&‚Ù€
ÁŽwów2Ëùﯾ=@ &‡£&Ø«ÀÿÂé"VЃ¶+ïä‚ü.õÊ {V�úèæÔ¬$>Â+òè� ¸Šs&/A¯å•»uP]㕶ßî6Cç¶ Ž)q~³Äp‘,(ïíØŸ;µ^89Ü©uåäû;ŸV:ßkB%�z¾÷ª* ,Øe,ªôG`$e´®ØÝ/Úý¶Íã²S-¶x+„p•à!�©KDFu)ªHs[Š*
i.ªñ!ž‘÷¹ªÞ J‘RÐ�³:*Å¡ffo½e=Ñ3Œ²‰z´w%(Àr:þ`¢µ‹YvÎ�ïç£Ñ5‰Šž‰f‘ï*GÁs1‰ íã¬F@¼…&&YŽ�M
‡+H\ÖšlÂoM!æˆÎð hx:¹,—U»ú׉ff¶ÚM±›PºDb÷‘žëÅ:ÒÒ"„bK…�Ø¡ƒè3± ¸œBMż›�6áD±4hUy–ÌêY£8™ï`¿eÏ®gŽ
ºùQk&X¬¸ÍÑ”‚.#m�r@ŒMzñ{s
s2ÜjîÚ7™É$¿ÄàöRº˜€&:øæâ"Ú,JW†pÂïVlá–Bàbœ}Ìáy2]°V�²Lòéò€=žtŠnüݤgÈ ÄCç0~T,‘pÊ�¿/¯³£È†�4N:L.¹%(0ŽÊ¡Ù´o¼4~ê¨Ýf‘-·&IË;瞎â dòtÊf·WÜ$Y¢FÒHÀ*Æ?ìˆG_fe5GL’Ñæ ÿxbw(e€þÑÏš{Çê#< pWçlÚ~Y#‰I·Q5`\âGpîÿ*•ý9Ä�¯Å$C}@+rTQ4™}µc\Ø‚páqÛŸ·±>v]Ð<ÚBñ³N|”ŒéD–0Zű—'1A 5 ÅQÅ=>àõe§-Þ–X©}UÑY—|ÃÍ;X˜ôpè8ïÖî