Romawi Kuno

Romawi Kuno

Olah raga dan hiburan

Ada bermacam-macam kegiatan olahraga bagi kawula muda kota Roma, antara lain olahraga lompat, gulat, tinju, dan balap.[233] Di daerah-daerah pedesaan, orang-orang kaya mengisi waktu senggang dengan kegiatan memancing dan berburu.[234] Bangsa Romawi juga mengenal sejumlah olahraga permainan yang menggunakan bola, antara lain permainan yang mirip dengan olahraga bola tangan Zaman Modern.[233] Permainan-permainan yang menggunakan dadu dan papan, serta berjudi merupakan kegiatan-kegiatan yang digemari orang sebagai pengisi waktu senggang.[233] Kaum perempuan tidak ikut serta dalam kegiatan-kegiatan semacam ini. Bagi para hartawan, pesta-pesta perjamuan merupakan kesempatan untuk menghibur diri. Pesta-pesta semacam ini adakalanya diiringi musik, tari-tarian, dan pembacaan syair.[225] Rakyat jelata kadang-kadang menikmati pesta-pesta serupa yang diselenggarakan oleh perkumpulan-perkumpulan atau serikat-serikat mereka, tetapi bagi sebagian besar masyarakat Romawi Kuno, perjamuan hiburan biasanya berarti acara kumpul-kumpul di kedai-kedai minum yang diselenggarakan oleh atasan atau induk semang mereka.[225] Kanak-kanak Romawi Kuno menghibur diri dengan mainan-mainan serta dolanan-dolanan semisal lompat kangkang melewati punggung teman.[225][234]

Penyandang dana penyelenggaraan lomba-lomba untuk tontonan umum adalah tokoh-tokoh masyarakat yang ingin pamer kebaikan dengan harapan dapat menuai dukungan masyarakat. Pada zaman kekaisaran, penyandang dana lazimnya adalah kaisar. Sejumlah ajang dibangun khusus untuk dijadikan tempat penyelenggaraan lomba-lomba yang ditonton masyarakat umum. Koloseum dibangun pada zaman kekaisaran sebagai tempat penyelenggaraan berbagai kegiatan, antara lain laga gladiator. Pertunjukan adu ketangkasan ini bermula sebagai bagian dari upacara pemakaman sekitar abad ke-4 SM, dan menjadi tontonan kegemaran khalayak ramai pada penghujung zaman republik sampai pada zaman kekaisaran. Para gladiator, yang diperlengkapi aneka bentuk senjata dan zirah, adakalanya bertarung sampai mati, tetapi sering kali hanya sampai dinyatakan menang, tergantung pada keputusan wasit, yang lazimnya menuruti keinginan penonton. Pertunjukan-pertunjukan satwa eksotis juga merupakan sebuah tontonan populer tersendiri, tetapi adakalanya satwa diadu dengan orang, baik petarung profesional yang diperlengkapi senjata maupun terpidana mati tanpa senjata. Sejumlah pertunjukan adu satwa dengan manusia didasarkan pada kisah-kisah dalam mitologi Romawi atau Yunani.

Lomba balap kereta digilai seluruh lapisan masyarakat. Di Roma, lomba-lomba ini lazimnya digelar di Circus Maximus (Gelanggang Akbar), yang memang khusus dibangun sebagai tempat menggelar lomba balap kereta dan pacuan kuda. Sebagai bangunan publik terbesar di kota Roma, Circus Maximus juga digunakan sebagai tempat penyelenggaraan pesta-pesta rakyat dan pertunjukan-pertunjukan ketangkasan satwa.[235] Circus Maximus mampu menampung sekitar 150.000 penonton.[236] Para pembalap bertanding secara beregu, dan tiap-tiap regu pembalap memakai warna tertentu sebagai ciri khasnya. Di tengah-tengah gelanggang, membujur alang pembatas (spina) yang melandasi tugu-tugu, kuil-kuil, patung-patung, dan alat hitung putaran balap. Jajaran tempat duduk terbaik berada tepat di pinggir jalur pacuan, dan menjadi jatah para senator. Jajaran tempat duduk di belakang para senator adalah jatah kaum eques (kesatria), sementara kaum plebs (rakyat jelata) dan warga asing menempati jajaran tempat duduk selebihnya di belakang kaum eques. Penyandang dana penyelenggaraan lomba balap duduk di panggung tinggi bersama jajaran arca dewa-dewi, sehingga dapat dilihat semua orang. Penonton mempertaruhkan banyak uang dalam judi balap. Ada yang berdoa dan mempersembahkan sesaji kepada dewa-dewi demi kemenangan pembalap jagoannya, ada yang sengaja mengguna-gunai regu lawan agar kalah, dan ada pula penggila-penggila lomba balap yang bergabung membentuk kelompok-kelompok pendukung setia, biang keladi tawuran antarpenonton.

Peradaban Romawi Kuno patut berbangga atas prestasi-prestasi mereka yang mengagumkan di bidang teknologi. Teknologi Romawi Kuno sudah mengalami banyak kemajuan, tetapi terlupakan pada Abad Pertengahan, dan baru ditemukan kembali pada abad ke-19 dan abad ke-20. Salah satu contohnya adalah teknologi kaca isolasi, yang baru ditemukan kembali pada era 1930-an. Banyak inovasi praktis bangsa Romawi yang diadopsi dari rancangan-rancangan terdahulu bangsa Yunani. Kemajuan teknologi bangsa Romawi sering kali terbagi-bagi menurut bidang usaha. Para usahawan menyembunyikan rapat-rapat teknologi-teknologi mereka layaknya rahasia dagang.[237]

Ilmu teknik sipil dan teknik militer Romawi Kuno adalah warisan kedigdayaan teknologi bangsa Romawi, yang telah menghasilkan ratusan jalan raya, jembatan, akuaduk, rumah pemandian, gedung pertunjukan, dan gelanggang pada masa jayanya. Banyak bangunan raksasa, semisal Koloseum, Pont du Gard, dan Pantheum, masih tegak sampai sekarang sebagai bukti nyata betapa majunya ilmu teknik dan kebudayaan bangsa Romawi.

Bangsa Romawi terkenal dengan arsitekturnya, yang disekelompokkan dengan arsitektur Yunani Kuno menjadi "arsitektur klasik". Kendati arsitekrut banyak perbedaan dengan arsitektur Yunani Kuno, arsitektur Romawi banyak sekali menyerap kaidah-kaidah baku Yunani dalam rancangan dan proporsi bangunan. Selain dua kaidah tiang bangunan, yakni kaidah gabungan dan kaidah Toskana, serta kaidah pembuatan kubah, yang diturunkan dari pelengkung Etruski, inovasi bangsa Romawi dalam bidang arsitektur relatif sedikit sampai dengan berakhirnya zaman republik.

Pada abad pertama pra-Masehi, bangsa Romawi mulai banyak memanfaatkan beton dalam pengerjaan bangunan. Adonan perekat berbahan dasar pozolana yang direka cipta pada akhir abad ke-3 SM ini pun segera menggeser kedudukan pualam sebagai bahan bangunan utama bangsa Romawi, dan memungkinkan pengerjaan berbagai macam rancangan arsitektur yang terkesan berani.[238] Pada abad pertama pra-Masehi, Vitruvius menulis De Architectura (Perihal Wastuwidya), yang mungkin sekali merupakan karya tulis lengkap pertama mengenai arsitektur dalam sejarah. Menjelang akhir abad pertama pra-Masehi, bangsa Romawi juga mulai menerapkan teknik tiup kaca, tak lama sesudah teknik ini diciptakan di Suriah sekitar tahun 50 SM. Mosaik-mosaik membanjiri Kekaisaran Romawi sesudah karya-karya seni mosaik Yunani Kuno ditemukan kembali semasa aksi militer Lucius Cornelius Sulla di Yunani.

Dengan landasan yang kukuh dan pengatusan yang baik,[239] jalan-jalan raya Romawi dikenal tahan lama, bahkan banyak bagian dari jaringan jalan raya Romawi yang masih digunakan orang seribu tahun sesudah Roma tumbang. Pembangunan jaringan perhubungan darat yang luas, lancar, dan menjangkau seluruh wilayah kekaisaran secara dramatis meningkatkan ketahanan dan pengaruh Roma. Jaringan perhubungan darat ini mempercepat pergerakan legiun-legiun Romawi bilamana dikerahkan ke lokasi tertentu, bahkan waktu tempuh dari satu tempat ke tempat lain pada musim apa pun dapat diperkirakan dengan jitu.[240] Jaringan jalan-jalan raya juga memiliki andil penting dalam perekonomian, karena mengukuhkan peran Roma sebagai salah satu titik persimpangan jalur-jalur niaga, yang menjadi cikal bakal dari peribahasa "semua jalan menuju ke Roma". Pemerintah Romawi memantau dan merawat stasiun-stasiun perhentian yang disebut cursus publicus. Stasiun-stasiun ini dibangun dengan jarak yang teratur dari stasiun ke stasiun di sepanjang jalan-jalan raya, dan dimanfaatkan sebagai tempat istirahat para kurir. Pemerintah Romawi juga menciptakan sistem ganti kuda di tiap stasiun sehingga kurir dapat menempuh jarak sampai dengan 80 km (50 mil) dalam sehari.

Bangsa Romawi membangun banyak akuaduk untuk menyalurkan air bersih ke kota-kota serta lokasi-lokasi industri, dan sebagai prasarana penunjang usaha pertanian mereka. Pada abad ke-3 M, air bersih untuk kota Roma dipasok oleh 11 akuaduk, rata-rata panjangnya mencapai 450 km (280 mil). Kebanyakan akuaduk dibina di bawah permukaan tanah. Hanya sebagian kecil yang berada di atas permukaan tanah, ditopang barisan tiang berpelengkung.[241][242] Adakalanya, jika kedalaman lembah yang harus dilewati akuaduk melebihi 500 m (1.640 kaki), konstruksi pipa pindah terbalik digunakan untuk mengalirkan air melintasi lembah.[48]

Urusan sanitasi juga sudah sangat maju. Bangsa Romawi terkenal dengan rumah-rumah pemandiannya (therma), yang dimanfaatkan sebagai tempat membersihkan diri maupun ajang pergaulan. Banyak rumah orang Romawi diperlengkapi dengan jamban guyur, jaringan pipa leding dalam ruangan, dan jaringan selokan. Cloaca Maxima adalah gorong-gorong utama pembuangan air genangan rawa-rawa dan limbah rumah tangga ke Sungai Tiber.

Beberapa sejarawan memperkirakan bahwa pipa-pipa timbal yang digunakan dalam jaringan selokan maupun saluran air bersih mengakibatkan keracunan timbal, biang keladi penurunan angka kelahiran dan kondisi kesehatan masyarakat pada umumnya, yang berbuntut pada tumbangnya Roma. Kendati demikian, kandungan timbal dalam air mungkin sekali sangat sedikit karena aliran air dari akuaduk-akuaduk tidak dibendung. Air mengucur tanpa henti lewat pancuran-pancuran di tempat umum maupun rumah-rumah pribadi kemudian mengalir ke selokan. Hanya segelintir orang yang menggunakan keran air kala itu.[243] Penulis-penulis lain juga telah mengutarakan keberatan mereka atas teori ini, seraya menunjukkan bahwa pipa-pipa air Romawi dilapisi endapan tebal yang tentunya mencegah timbal mencemari air.[244]

Romawi Kuno adalah cikal bakal peradaban Dunia Barat.[246][247][248] Adat istiadat, agama, hukum, teknologi, arsitektur, tata negara, militer, kesusastraan, bahasa, aksara, tata pemerintahan, dan berbagai unsur peradaban Dunia Barat lainnya adalah warisan peninggalan bangsa Romawi. Penemuan kembali kebudayaan bangsa Romawi memberi gairah baru bagi peradaban Dunia Barat lewat andilnya yang besar dalam gerakan Renaisans dan Abad Pencerahan.[249][250]

Meskipun ada bermacam-macam karya tulis mengenai sejarah Romawi Kuno, banyak diantaranya yang sudah musnah, sehingga muncul celah-celah kosong dalam sejarah Romawi Kuno, yang ditambal dengan karya-karya tulis kurang andal semisal Historia Augusta dan buku-buku lain yang tidak jelas penulisnya. Kendati demikian, masih ada sejumlah karya tulis tepercaya mengenai sejarah Romawi Kuno yang lestari sampai sekarang.

Para sejarawan perdana menggunakan karya-karya tulis mereka sebagai sarana untuk mengagung-agungkan kebudayaan dan adat istiadat bangsa Romawi. Pada penghujung zaman republik, beberapa sejarawan bahkan sengaja memutarbalikkan sejarah demi menyanjung induk semang mereka, khususnya semasa perseteruan Gaius Marius dan Lucius Cornelius Sulla.[251] Gaius Iulius Caesar sendiri menghasilkan karya-karya tulis sejarah guna memastikan seluruh aksi militer yang dipimpinnya di Galia dan semasa perang saudara tercatat selengkapnya-lengkapnya.

Di Kekaisaran Romawi, berkembang penulisan biografi tokoh-tokoh ternama dan kaisar-kaisar perdana, misalnya De Vita Caesarum karangan Suetonius, dan Vitae Parallelae karangan Plutarkos. Pustaka penting lainnya dari zaman kekaisaran adalah karya-karya tulis Livius dan Tacitus.

Templat:Sejarah Italia Minat mengkaji, bahkan mengidealisasi, peradaban Romawi Kuno mengemuka pada masa Renaisans Italia, bahkan berlanjut sampai sekarang. Charles Montesquieu menulis Considérations sur les causes de la grandeur des Romains et de leur décadence (Pendalaman Sebab Musabab Kebesaran Bangsa Romawi dan Kemerosotannya). Karya tulis penting pertama mengenai Romawi Kuno adalah The History of the Decline and Fall of the Roman Empire karangan Edward Gibbon, yang mengkaji peradaban bangsa Romawi mulai dari penghujung abad ke-2 sampai dengan runtuhnya Kekaisaran Romawi Timur pada tahun 1453.[252] Sama seperti Charles Montesquieu, Edward Gibbon menyanjung-nyanjung kebajikan bangsa Romawi. Barthold Georg Niebuhr, salah seorang pemrakarsa kajian sejarah Romawi Kuno, menulis Römische Geschichte (Sejarah Bangsa Romawi), yang merunut kurun waktu sejarah bangsa Romawi sampai dengan Perang Punik I. Barthold Georg Niebuhr berusaha memperkirakan cara tradisi bangsa Romawi tumbuh dan berkembang. Menurutnya, bangsa Romawi, sama seperti bangsa-bangsa lain, memiliki suatu etos bersejarah yang diwariskan turun-temurun, teristimewa di kalangan ningrat.

Pada Zaman Napoleon, muncul sebuah karya tulis berjudul Histoire des Romains depuis les temps les plus reculés jusqu'à la mort de Théodose (Sejarah Bangsa Romawi Mulai Dari Masa-Masa Terdahulu Sampai Dengan Kemangkatan Theodosius) karangan Victor Duruy. Karya tulis ini menonjolkan Zaman Caesar yang digemari sidang pembaca kala itu. Römische Geschichte (Sejarah Bangsa Romawi), Römisches Staatsrecht (Undang-Undang Romawi) , dan Corpus Inscriptionum Latinarum (Khasanah Prasasti Latin) adalah karya-karya tulis Theodor Mommsen[253] yang merupakan tonggak-tonggak sejarah penting. Di kemudian hari, terbit pula karya tulis Guglielmo Ferrero yang berjudul Grandezza e decadenza di Roma (Kebesaran dan Kemerosotan Roma). Buku terbitan Rusia, Очерки по истории римского землевладения, преимущественно в эпоху Империи (Ocerki po istorii rimskogo zemlevladenia, preimusycestvenno v epoku Imperii, Garis-Garis Besar Sejarah Kepemilikan Tanah Bangsa Romawi, Khususnya Pada Zaman Kekaisaran), karangan Ivan Grevs, memuat informasi mengenai tata kelola usaha Pomponius Atticus, salah seorang pemilik tanah terluas pada akhir zaman republik.

Di bidang historiografi modern, Romawi Kuno adalah sebutan bagi peradaban bangsa Romawi mulai dari berdirinya kota Roma pada abad ke-8 Pramasehi sampai dengan runtuhnya Kekaisaran Romawi Barat pada abad ke-5 Masehi, yakni rentang waktu yang mencakup zaman Kerajaan Romawi (753–509 SM), zaman Republik Romawi (509–27 SM), dan zaman Kekaisaran Romawi sampai dengan tumbangnya Romawi Barat (27 SM– 476 M).[1] Cikal bakal peradaban ini adalah perkampungan orang Itali yang didirikan di tepi Sungai Tiber di Jazirah Italia pada tahun 753 SM. Lambat laun perkampungan ini berkembang menjadi negara kota Roma, dan kemudian hari menguasai daerah-daerah tetangganya melalui perjanjian dan kekuatan militer. Negara kota Roma pada akhirnya menguasai Jazirah Italia, menyerap kebudayaan Yunani di kawasan selatan Italia (daerah Yunani Besar) maupun kebudayaan Etruski, dan menjadi negara adidaya di kawasan Laut Tengah maupun di sebagian Benua Eropa. Negara kota Roma tumbuh menjadi salah satu kemaharajaan terbesar di dunia pada Abad Kuno, dengan populasi seramai kira-kira 50 sampai 90 juta jiwa (sekitar 20% dari keseluruhan populasi dunia pada zamannya),[2] dan wilayah seluas 5 juta persegi pada tahun 117 M.[3]

Dari abad ke abad, negara binaan bangsa Romawi ini sedikit demi sedikit berkembang dari negara monarki elektif menjadi negara republik kuno yang demokratis, dan selanjutnya menjadi negara kekaisaran diktator militer semielektif yang kian lama kian autokratis. Melalui perang penaklukan serta asimilasi budaya dan bahasa, Kekaisaran Romawi mampu menguasai beragam suku bangsa dan wilayah yang sangat luas. Pada masa jayanya, Kekaisaran Romawi berdaulat atas kawasan pesisir utara Afrika, Mesir, kawasan selatan Eropa, sebagian besar kawasan barat Eropa, Jazirah Balkan, Jazirah Krimea, dan sebagian besar kawasan Timur Tengah, termasuk Syam, berikut sejumlah daerah di Mesopotamia dan Jazirah Arab. Romawi Kuno kerap disandingkan dengan Yunani Kuno dalam kelompok peradaban Abad Kuno. Budaya serta masyarakat kedua peradaban ini sangat mirip satu sama lain, sehingga disamaratakan dengan sebutan Dunia Yunani-Romawi.

Peradaban Romawi Kuno punya andil besar dalam perkembangan bahasa, agama, tata kemasyarakatan, teknologi, hukum, politik, ketatanegaraan, tata cara berperang, kesenian, kesusastraan, arsitektur, dan ilmu teknik Zaman Modern. Roma memprofesionalisasi serta mengembangkan kekuatan militernya, dan menciptakan sistem pemerintahan res publica, yang menginspirasi pembentukan negara-negara republik pada Zaman Modern[4][5][6] semisal Amerika Serikat dan Prancis. Peradaban Romawi Kuno sudah mampu melakukan rekayasa yang mengagumkan di bidang teknologi dan arsitektur, misalnya membangun jaringan akuaduk, jaringan jalan raya, monumen-monumen, istana-istana, dan fasilitas-fasilitas umum berukuran raksasa.

Perang Punik melawan Kartago adalah serangkaian perang yang mengantarkan Roma menjadi salah satu negara adidaya pada zamannya. Dalam perang beruntun ini, Roma berhasil merebut pulau-pulau yang strategis, yakni Korsika, Sardinia, dan Sisilia, berhasil merebut Hispania (Spanyol dan Portugal sekarang ini), serta berhasil meluluhlantakkan kota Kartago pada tahun 146 SM. Segala keberhasilan ini membuat Roma menjadi negara terunggul di seantero kawasan sekeliling Laut Tengah. Pada penghujung zaman republik (27 SM), Roma telah berhasil menundukkan negeri-negeri di sekeliling Laut Tengah bahkan lebih jauh lagi. Wilayah kekuasaannya membentang dari Samudra Atlantik sampai ke Jazirah Arab, dan dari muara Sungai Rhein sampai ke Afrika Utara. Kekaisaran Romawi bermula seiring tamatnya riwayat Republik Romawi dan berakhirnya masa kediktatoran militer Augustus. Perang selama 721 tahun antara Roma dan Persia bermula pada tahun 92 SM dengan meletusnya Perang Romawi-Partia, dan merupakan konflik terlama sepanjang sejarah umat manusia, yang berdampak besar terhadap masa depan kedua negara.

Pada masa pemerintahan Traianus, luas wilayah Kekaisaran Romawi mencapai puncaknya, membentang dari kawasan sekeliling Laut Tengah sampai ke pantai Laut Utara di sebelah utara, dan pantai Laut Tengah serta pantai Laut Kaspia di sebelah timur. Adab dan adat warisan zaman republik mulai memudar pada zaman kekaisaran, manakala perang saudara menjadi peristiwa lumrah yang mengawali kemunculan kaisar baru.[7][8][9] Negara-negara pecahan Kekaisaran Romawi, semisal Kekaisaran Tadmur, sempat menyekat wilayah kekaisaran semasa Krisis Abad Ketiga.

Akibat digerogoti kekacauan di dalam negeri dan serangan suku-suku bangsa asing yang hijrah ke wilayahnya, bagian barat Kekaisaran Romawi akhirnya terpecah belah menjadi kerajaan-kerajaan merdeka bentukan suku-suku Barbar pada abad ke-5. Para sejarawan menjadikan peristiwa keterpecahbelahan ini sebagai tonggak sejarah semesta yang memisahkan kurun waktu kuno dari kurun waktu "kegelapan" pra-Abad Pertengahan di Eropa. Bagian timur Kekaisaran Romawi bertahan menyintasi abad ke-5, dan tetap menonjol sebagai salah satu negara adidaya di pentas dunia sepanjang "Abad Kegelapan" dan Abad Pertengahan, sampai akhirnya tumbang pada tahun 1453. Kendati rakyat Kekaisaran Romawi tidak membeda-bedakan bagian barat dari bagian timur, para sejarawan Zaman Modern lazimnya menggunakan istilah "Kekaisaran Romawi Timur" sebagai sebutan bagi Kekaisaran Romawi yang tersisa pada Abad Pertengahan, guna membedakannya dari Kekaisaran Romawi yang seutuhnya pada Abad Kuno.[10]

Menurut mitos asal usulnya, kota Roma didirikan pada tanggal 21 April 753 SM, di tepi Sungai Tiber, kawasan tengah Jazirah Italia, oleh si kembar Romulus dan Remus, cucu-cucu Numitor, raja orang Latini Alba Longa, keturunan pahlawan besar Troya, Aeneas (bahasa Yunani: Αἰνείας, Aineías).[11] Rhea Silvia, anak perempuan Raja Numitor, adalah ibu kandung si kembar.[12][13] Konon Rhea Silvia berbadan dua setelah digagahi Mars, dewa perang bangsa Romawi, sehingga si kembar Romulus dan Remus pun dianggap sebagai manusia-manusia setengah dewa.

Raja Numitor dimakzulkan saudara kandungnya, Amulius. Karena khawatir suatu ketika nanti Romulus dan Remus akan merebut kembali singgasana, Amulius menyuruh orang menenggelamkan kedua bayi kembar itu.[13] Seekor serigala betina (atau seorang istri gembala menurut sejumlah riwayat lain) menyelamatkan dan membesarkan mereka. Sesudah beranjak dewasa, si kembar merebut dan menyerahkan kembali singgasana Alba Longa kepada Numitor.[13][14]

Si kembar selanjutnya mendirikan kota mereka sendiri. Malangnya Remus tewas dibunuh Romulus dalam pertengkaran mengenai letak kerajaan yang akan mereka dirikan. Menurut beberapa sumber, keduanya mempertengkarkan soal siapa yang akan menjadi raja, atau siapa yang namanya akan dijadikan nama kota.[15] Nama Romuluslah yang akhirnya menjadi nama kota binaan si kembar.[13] Untuk memperbanyak jumlah warganya, Roma menawarkan suaka bagi kaum papa, orang-orang buangan, dan orang-orang yang keberadaannya tidak diharapkan. Kebijakan ini menimbulkan masalah, karena jumlah warga laki-laki terus meningkat, sementara warga perempuan menjadi langka. Romulus sampai harus melawat kota demi kota dan suku demi suku di sekitar Roma, dalam rangka mencarikan istri bagi sekian banyak warga Roma yang masih membujang. Akan tetapi Roma sudah telanjur dipenuhi orang-orang yang tidak disukai sehingga usaha Romulus menemui jalan buntu. Menurut legenda, orang Latini akhirnya menggunakan tipu muslihat demi mendapatkan istri. Mereka mengundang orang Sabini menghadiri suatu perayaan meriah, lalu melarikan anak-anak gadis mereka, sehingga orang Latini dan orang Sabini akhirnya berbaur.[16]

Menurut legenda lain yang dicatat oleh sejarawan Yunani, Dionisios asal Halikarnasos, konon sesudah kota Troya diluluhlantakkan orang-orang Yunani dalam Perang Troya, Aeneas memimpin serombongan pengungsi Troya berlayar mencari tempat untuk mendirikan kota Troya yang baru. Setelah mengarungi laut yang bergelora, mereka akhirnya mendarat di tepi Sungai Tiber. Tak seberapa lama menjejaki daratan, para penumpang lelaki sudah ingin kembali berlayar, bertolak belakang dengan keinginan para penumpang perempuan. Roma, salah seorang penumpang perempuan, mengajak perempuan-perempuan lain bersama-sama membakar kapal guna membatalkan pelayaran. Para penumpang lelaki mula-mula memarahi Roma, tetapi akhirnya sadar bahwa tempat persinggahan mereka sesungguhnya layak dijadikan tempat bermukim yang baru. Permukiman yang mereka dirikan di tepi Sungai Tiber diberi nama Roma, sama seperti nama biang kerok pembakaran kapal mereka.[17]

Pujangga Romawi, Vergilius, meriwayatkan kembali legenda ini dalam syair wiracarita gubahannya, Aeneis. Dikisahkan bahwa Aeneas, si pangeran Troya, telah ditakdirkan dewata menjadi pendiri Troya baru. Para penumpang perempuan juga dikisahkan menolak untuk kembali berlayar, tetapi tidak berlanjut dengan pembangunan permukiman di tepi Sungai Tiber. Sesudah berlabuh di Italia, Aeneas, yang hendak memperistri Lavinia, harus berperang melawan Turnus, yang sudah lebih dahulu mengincar Lavinia. Menurut syair wiracarita ini, raja-raja Alba Longa termasuk nasab Aeneas, dan dengan demikian Romulus, pendiri kota Roma, terhitung sebagai keturunannya.

Kota Roma tumbuh dari permukiman-permukiman di sekitar dangkalan Sungai Tiber, salah satu titik persimpangan lalu lintas dan perniagaan.[14] Berdasarkan bukti-bukti arkeologi, desa Roma mungkin didirikan pada abad ke-8 SM, kendati mungkin pula sudah didirikan seawal-awalnya pada abad ke-10 SM, oleh orang Latini, di puncak Bukit Palatium.[18][19]

Orang Etruski, yang sudah lebih dahulu mendiami daerah Etruria di sebelah utara, agaknya telah menancapkan cengkeraman politik mereka di kawasan itu pada penghujung abad ke-7 SM, dan menjadi semacam golongan elit kaum ningrat beserta kepala monarki. Kekuasaan orang Etruski agaknya meredup pada penghujung abad ke-6 SM. Pada waktu inilah orang Latini dan orang Sabini menegakkan kembali kedaulatan mereka dengan mendirikan sebuah negara republik dengan lebih banyak batasan bagi pemimpin dalam menjalankan kekuasaan.[20]

Menurut keyakinan turun-temurun bangsa Romawi dan berdasarkan bukti-bukti arkeologi, lingkungan di ujung tenggara Forum Romanum adalah pusat pemerintahan dan keagamaan bangsa Romawi yang mula-mula. Numa Pompilius, Raja Roma yang kedua, pengganti Romulus, mengawali kegiatan pembangunan kota dengan mendirikan regia (keraton), dan asrama perawan Vesta di tempat itu.

Menurut keyakinan turun-temurun dan keterangan pujangga-pujangga terkemudian semisal Livius, negara Republik Romawi lahir sekitar tahun 509 SM,[21] manakala Raja Roma ke-7, Tarquinus Si Tinggi Hati, digulingkan oleh Lucius Iunius Brutus, dan sistem monarki diganti dengan sistem pemerintahan baru yang diselenggarakan oleh para magistratus, pejabat negara yang dipilih tiap-tiap tahun untuk mengepalai berbagai bidang ketatanegaraan.[22] Undang-undang dasar negara Republik Romawi mengatur tentang pengawasan dan perimbangan kekuasaan. Para magistratus yang paling utama adalah dua orang consul, yang bersama-sama menjalankan kewenangan eksekutif semisal imperium, yakni kewenangan memerintah bala tentara.[23] Para consul harus bekerja sama dengan senatus. Mula-mula senatus adalah dewan penasihat yang beranggotakan orang-orang dari kalangan ningrat, yakni kaum patricius, tetapi kewenangan maupun jumlah anggotanya lama-kelamaan semakin besar.[24]

Para magistratus lain adalah tribunus, quaestor, aedilis, praetor, dan censor.[25] Mula-mula hanya kaum patricius yang dibenarkan menjadi magistratus, tetapi di kemudian hari kaum plebs (rakyat jelata) juga diberi kesempatan yang sama.[26] Sidang-sidang pemungutan suara di negara Republik Romawi adalah comitia centuriata (sidang seratus warga), yang melakukan pemungutan suara untuk mengambil keputusan terkait pemakluman perang, kesepakatan damai, dan pemilihan orang-orang yang akan menduduki jabatan-jabatan terpenting, serta comitia tributa (sidang warga suku), yang melakukan pemungutan suara untuk memilih orang-orang yang akan menduduki jabatan-jabatan yang tidak begitu penting.[27]

Pada abad ke-4 SM, Roma diserang orang Galia, yang kala itu telah memperluas wilayah kekuasaannya ke Jazirah Italia melintasi Lembah Po dan menerobos masuk ke Etruria. Pada tanggal 16 Juli 390 SM, bala tentara Galia di bawah pimpinan Brennus, salah seorang kepala suku mereka, menggempur orang Romawi di tepi Sungai Allia, hanya sepuluh mil ke utara dari kota Roma. Orang Romawi dapat dikalahkan, dan orang Galia pun langsung bergerak menuju Roma. Sebagian besar warga Roma telah mengungsi, tetapi ada sejumlah warga yang masih bertahan di Bukit Capitolium, dan bertekad melawan musuh sampai titik darah penghabisan. Orang Galia menjarah dan membumihanguskan kota Roma, lalu mengepung Bukit Capitolium. Aksi pengepungan berlangsung selama tujuh bulan sampai orang Galia bersedia berdamai dengan imbalan 1.000 pon (450 kg) emas.[28] Menurut legenda yang baru muncul di kemudian hari, konon petugas Romawi yang mengawasi kegiatan penimbangan emas mendapati orang Galia menggunakan dacin yang sudah diakali. Orang Romawi pun naik pitam, segera menghunus senjata, dan berhasil mengalahkan orang Galia. Semangat juang orang Romawi dipuji panglima mereka, Marcus Furius Camillus, dengan kalimat "Roma membeli kemerdekaannya dengan besi, bukan dengan emas."[29]

Suku-suku bangsa lain di Jazirah Italia, termasuk orang Etruski, satu demi satu ditundukkan oleh orang Romawi.[30] Ancaman terakhir terhadap hegemoni Romawi di Jazirah Italia muncul tatkala Tarentum, salah satu koloni orang Yunani yang cukup besar, mendatangkan Piros asal Epiros (bahasa Latin: Pyrrhus Epirotes; bahasa Yunani: Πύρρος της Ηπείρου, Piros tis Ipeirou) pada tahun 281 SM untuk melawan orang Romawi, tetapi berakhir dengan kegagalan.[30][31] Orang Romawi mengekalkan keberhasilan aksi-aksi penaklukan mereka dengan mendirikan koloni-koloni Romawi di tempat-tempat strategis, sehingga terbentuk suatu rentang kendali yang kukuh mencengkeram daerah-daerah taklukan mereka di Jazirah Italia.[30]

Pada abad ke-3 SM, Roma mendapat lawan baru yang tangguh, yakni Kartago, negara kota bangsa Fenisia yang kaya lagi makmur dan berhasrat menguasai seluruh kawasan sekitar Laut Tengah. Roma dan Kartago pernah bersekutu pada zaman Piros dari Epiros, musuh bersama mereka, tetapi hegemoni Roma di daratan Italia dan kejayaan bahari Kartago melambungkan masing-masing kota menjadi dua kekuatan utama di sebelah barat kawasan Laut Tengah, dan benturan kepentingan kedua kota atas kawasan Laut Tengah tak ayal berujung sengketa.

Perang Punik I meletus pada tahun 264 SM, manakala kota Messana meminta bantuan Kartago untuk menuntaskan pertikaian dengan Hieron asal Sirakusa (bahasa Latin: Hiero Syracusanus; bahasa Yunani: Ἱέρων των Συρακουσών, Hieron ton Sirakouson). Setelah orang Kartago turun tangan, Messana meminta Roma mengusir mereka. Roma melibatkan diri dalam perang ini karena Sirakusa dan Messana terlampau dekat dengan kota-kota Yunani di kawasan selatan Italia yang baru saja takluk, dan Kartago kini mampu menyerang masuk ke dalam wilayah kekuasaan Romawi. Selain itu, Roma juga juga berharap dapat memasukkan Sisilia ke dalam wilayah kekuasaannya.[35]

Orang Romawi memang sudah biasa bertempur di darat, tetapi kali ini mereka juga harus mampu bertempur di laut jika ingin mengalahkan seteru barunya. Kartago adalah sebuah negara bahari, sementara negara Republik Romawi tidak memiliki cukup kapal maupun pengalaman tempur di laut, sehingga mustahil dapat memenangkan perang tanpa lebih dahulu bersusah payah dalam waktu yang lama. Kendati demikian, Roma berhasil mengalahkan dan memaksa Kartago untuk berdamai sesudah 20 tahun lebih saling memerangi. Salah satu penyebab meletusnya Perang Punik II[36] adalah syarat membayar pampasan perang yang terpaksa disetujui Kartago demi tercapainya kesepakatan damai seusai Perang Punik I.[37]

Perang Punik II termasyhur karena kehebatan panglima-panglima perangnya, yakni Hannibal Barca (bahasa Punik: 𐤇𐤍𐤁𐤏𐤋 𐤁𐤓𐤒, Hanibaʿal Baraq) dan Hasdrubal Barca (bahasa Punik: 𐤏𐤆𐤓‬‬𐤁‬𐤏𐤋 𐤁𐤓𐤒, ʿAzrubaʿal Baraq) di kubu Kartago, serta Marcus Claudius Marcellus, Quintus Fabius Maximus Verrucosus, dan Publius Cornelius Scipio di kubu Roma. Semasa berlangsungnya Perang Punik II, Roma juga terlibat dalam Perang Makedonia I. Perang Punik II bermula dengan invasi nekat atas Hispania oleh Hannibal Barca, Senapati Kartago yang pernah memimpin aksi-aksi militer Kartago di Sisilia pada Perang Punik I. Hannibal, putra Hamilcar Barca (bahasa Punik: 𐤇𐤌𐤋𐤒𐤓𐤕 𐤁𐤓𐤒, Hamilqart Baraq), bergerak cepat melintasi Hispania menuju Pegunungan Alpen Italia, sehingga menggentarkan sekutu-sekutu Roma di Italia. Cara terbaik menggagalkan usaha Hannibal untuk membuat orang-orang Italia mengkhianati Roma adalah memperlambat laju pergerakan bala tentara Kartago dengan serangan-serangan gerilya guna memangkas kekuatan tempur mereka sedikit demi sedikit. Muslihat ini diusulkan oleh Quintus Fabius Maximus sehingga akhirnya terkenal dengan sebutan Muslihat Fabius, dan Quintus Fabius Maximus sendiri kelak dijuluki Cunctator (Si Penghambat). Akibat muslihat ini, Hannibal tidak dapat menggerakkan cukup banyak kota di Italia untuk melawan Roma maupun untuk menambah kekuatan tempurnya yang sudah menyusut akibat aksi-aksi gerilya Romawi, sehingga jumlah prajurit dan alat tempurnya tidak cukup memadai untuk dikerahkan mengepung Roma.

Kendati demikian, Hanibal tetap saja merajalela di Italia sampai 16 tahun lamanya. Setelah Hannibal diperkirakan sudah kehabisan perbekalan, orang Romawi pun mengeluarkan jagoan mereka, Publius Cornelius Scipio. Senapati Romawi ini berhasil mengalahkan adik Hannibal, Hasdrubal Barca, di daerah yang kini menjadi wilayah negara Spanyol, dengan maksud merongrong daerah sekitaran ibu kota musuh yang tidak dijaga sehingga Hannibal terpaksa harus pulang untuk mempertahankan kota Kartago. Perang Punik II berakhir dengan kemenangan mutlak Romawi dalam Pertempuran Zama pada bulan Oktober 202 SM di Afrika, yang membuat Publius Cornelius Scipio mendapatkan agnomen Africanus. Sekalipun banyak berkorban, Roma juga mendapatkan banyak keuntungan, yakni kedaulatan atas Hispania berkat aksi penaklukan Publius Cornelius Scipio, dan kedaulatan atas Sirakusa, daerah kekuasaan terakhir bangsa Yunani di Pulau Sisilia, berkat aksi penaklukan Marcus Claudius Marcellus.

Setengah abad lebih sesudah peristiwa-peristiwa ini, Kartago sudah benar-benar terpuruk, dan Roma sudah tidak lagi memusingkan seteru Afrikanya itu. Perhatian Republik Romawi kala itu sepenuhnya diarahkan pada kerajaan-kerajaan Helenistik di Yunani dan pemberontakan-pemberontakan di Hispania. Kendati demikian, sesudah melunasi pampasan perang, Kartago merasa tidak perlu lagi tunduk dan patuh pada Roma, berlawanan dengan pandangan senatus. Ketika diinvasi Numidia pada tahun 151 SM, Kartago meminta Roma turun tangan. Duta-duta pun diutus ke Kartago, antara lain Marcus Porcius Cato. Setelah menginsyafi bahwa Kartago masih berpeluang bangkit dari keterpurukan dan kembali berjaya, Marcus Porcius Cato senantiasa mengakhiri setiap pidatonya, apa pun isinya, dengan kalimat "Ceterum censeo Carthaginem esse delendam" (akhir kata, menurut hemat saya, Kartago harus dibinasakan).

Perang Punik III meletus pada tahun 149 SM, ketika Roma memaklumkan perang melawan Kartago, yang telah lancang memerangi Numidia tanpa persetujuan Roma. Dengan mengerahkan seluruh warganya, Kartago mampu menangkis serangan pertama Roma. Kendati demikian, Kartago tidak cukup tangguh untuk membendung serangan Scipio Aemilianus, yang meluluhlantakkan seantero kota beserta tembok-temboknya, memperbudak dan menjual habis seluruh warganya, serta menegakkan kedaulatan Romawi di bekas wilayah Kartago, yang menjadi cikal bakal dari Provinsi Afrika jajahan Romawi. Dengan demikian, zaman Perang Punik pun berakhir. Semua perang ini membuat Roma mendapatkan daerah-daerah jajahan seberang laut yang pertama (Sisilia, Hispania, dan Afrika), melambungkan Roma menjadi salah satu negara kekaisaran utama, dan menjadi awal dari berakhirnya demokrasi. [38][39]

Constantinus dan agama Kristen

Constantinus naik takhta menjadi salah seorang dari empat serangkai pada tahun 306. Ia berulang kali memerangi ketiga rekannya. Pertama-tama Maxentius ia tundukkan pada tahun 312. Pada tahun 313, ia menerbitkan Maklumat Milan, yang menjamin kebebasan umat Kristen untuk mengamalkan ajaran agamanya.[135] Constantinus akhirnya memeluk agama Kristen, sehingga perbawa agama Kristen pun terdongkrak. Ia memulai usaha kristenisasi Kekaisaran Romawi dan Eropa, yang baru dituntaskan oleh Gereja Katolik pada Abad Pertengahan. Ia dikalahkan orang Franka dan orang Alemani pada kurun waktu 306–308. Pada tahun 324, ia menundukkan Licinius, salah seorang rekannya sesama kaisar, dan akhirnya menyatukan kembali kekuasan atas seantero wilayah Kekaisaran Romawi seperti pada masa sebelum Diocletianus berkuasa. Sebagai kenang-kenangan akan kejayaannya, dan demi kepentingan agama Kristen, Constantinus membangun kembali kota Bizantium dan mengganti namanya menjadi Nova Roma (Roma Baru), tetapi tak lama kemudian kota ini pun lazim dikenal dengan julukannya dalam bahasa Yunani, yakni Konstantinopolis (Kota Constantinus).[136][137]

Masa pemerintahan Iulianus, kaisar yang berusaha menghidupkan kembali agama asli Romawi dan Yunani akibat dipengaruhi penasihatnya, Mardonius, hanyalah jeda singkat dalam kurun waktu pemerintahan kaisar-kaisar Kristen. Konstantinopolis menjadi ibu kota baru Kekaisaran Romawi. Roma memang sudah kehilangan arti pentingnya semenjak timbul Krisis Abad Ketiga. Mediolanum menjadi ibu kota wilayah barat dari tahun 286 sampai tahun 330, sebelum Kaisar Honorius menetapkan Ravenna menjadi ibu kota yang baru pada abad ke-5.[138] Kebijakan Constantinus untuk melakukan tata ulang moneter dan pembaharuan tata usaha negara, yang mampu mempersatukan kembali seantero wilayah Kekaisaran Romawi di bawah pemerintahan satu orang kaisar, serta usahanya membangun kembali kota Bizantium telah menimbulkan perubahan besar pada kurun waktu pertengahan Abad Kuno.

Zaman kekaisaran - pemerintahan para princeps

Pada tahun 27 SM, saat berumur 36 tahun, Octavianus adalah satu-satunya pemimpin bangsa Romawi. Pada tahun yang sama, ia menamakan dirinya Augustus (Yang Mulia). Peristiwa ini lazim dijadikan para sejarawan sebagai tonggak sejarah berdirinya Kekaisaran Romawi, kendati Roma sudah menjadi semacam "kekaisaran" semenjak tahun 146 SM, ketika Kartago dihancurleburkan oleh Scipio Aemilianus, dan Yunani ditaklukkan oleh Lucius Mummius. Secara resmi, pemerintahannya masih berbentuk republik, tetapi Augustus berkuasa mutlak.[59][60] Kebijakan Augustus untuk memperbaharui pemerintahan menghasilkan kurun waktu sejahtera sepanjang kira-kira dua abad yang disebut Pax Romana oleh orang-orang Romawi.

Wangsa Iulia-Claudia (bahasa Latin: Domus Iulio-Claudia) dibentuk oleh Augustus. Kaisar-kaisar dari wangsa ini adalah Augustus, Tiberius, Caligula, Claudius, dan Nero. Nama wangsa ini adalah gabungan dari gens Iulia, nama keluarga Augustus, dan gens Claudia, nama keluarga Tiberius. Di satu pihak, kaisar-kaisar wangsa inilah yang mula-mula meruntuhkan nilai-nilai luhur Republik Romawi, tetapi di lain pihak, merekalah jugalah yang mengangkat derajat Roma menjadi sebuah negara adidaya di pentas dunia.[61] Dalam budaya populer, Caligula dan Nero memang lazim dikenang sebagai kaisar-kaisar yang bobrok, tetapi Augustus dan Claudius dikenang sebagai kaisar-kaisar yang berjaya di bidang politik dan kemiliteran. Wangsa ini melembagakan tradisi kekaisaran di Roma,[62] dan menghalang-halangi segala macam usaha untuk memulihkan pemerintahan republik.[63]

Augustus memonopoli seluruh kewenangan pemerintah republik dengan gelar resminya, princeps (ketua). Ia memegang kewenangan consul (kepala pemerintahan), princeps senatus (ketua majelis sesepuh), aedilis (pejabat urusan rumah ibadat dan hari besar keagamaan), censor (pejabat urusan cacah jiwa dan pemantauan akhlak masyarakat), dan tribunus (pemuka suku), termasuk hak kekeramatan tribunus.[64] Monopoli kewenangan inilah yang menjadi asas kewenangan seorang kaisar. Augustus juga menggelari dirinya Imperator Gaius Iulius Caesar Divi Filius, yang berarti "Sang Pemberi Titah, Gaius Iulius Caesar, Putra Dewata". Dengan gelar ini, Augustus tidak saja memamerkan hubungan kekerabatannya dengan mendiang Gaius Iulius Caesar yang telah dimasyhurkan sebagai dewata, tetapi juga menonjolkan suatu keterkaitan permanen dengan tradisi kejayaan Romawi melalui pemakaian istilah imperator.

Augustus juga membatasi pengaruh golongan senatus di kancah politik dengan memberi ruang yang lebih besar bagi kaum eques. Para senator juga kehilangan hak untuk mengatur provinsi-provinsi tertentu, semisal Mesir, karena wali negerinya ditunjuk langsung oleh kaisar. Keputusannya membentuk laskar Praetoriani dan memperbaharui tatanan kemiliteran menghasilkan sebuah angkatan bersenjata berkekuatan tetap 28 legiun, sehingga segenap angkatan bersenjata Romawi dapat ia kendalikan seorang diri.[65] Jika dibandingkan dengan zaman rezim Triumviratus II, masa pemerintahan Augustus selaku princeps sangat tenteram. Keadaan aman dan makmur, yang dijamin penguasaan Roma atas Mesir, sebuah provinsi agraris,[66] mendorong rakyat dan kaum ningrat Roma untuk mendukung Augustus memperbesar kewenangannya dalam urusan politik.[67] Dalam kegiatan militer, Augustus tidak ikut serta dalam pertempuran-pertempuran. Para senapatilah yang bertanggung jawab memimpin bala tentara di medan tempur, sehingga muncul tokoh-tokoh perwira yang disegani masyarakat maupun legiun-legiun, misalnya Marcus Vipsanius Agrippa, Nero Claudius Drusus, dan Germanicus Iulius Caesar. Augustus berniat menjadikan seluruh dunia, yang sudah dikenal orang kala itu, sebagai bagian dari wilayah Kekaisaran Romawi, dan pada masa pemerintahannya, Roma menaklukkan Cantabria, Aquitania, Raetia, Dalmatia, Illyria, dan Pannonia.[68]

Pada masa pemerintahan Augustus, kesusastraan Romawi terus berkembang, sehingga zaman ini disebut pula Abad Keemasan kesusastraan Latin. Para penyair seperti Vergilius, Horatius, Ovidius, dan Rufus menghasilkan karya-karya sastra yang bernas, dan bersahabat karib dengan Augustus. Bersama Gaius Cilnius Maecenas , Augustus mendorong penggubahan syair-syair kepahlawanan, semisal syair wiracarita Aeneis gubahan Vergilius, dan penyusunan karya-karya tulis sejarah, semisal Ab Urbe Condita Libri karya Livius. Karya-karya tulis dari Abad Keemasan kesusastraan ini bertahan sepanjang zaman Kekaisaran Romawi, dan dihargai sebagai karya-karya klasik. Augustus juga meneruskan usaha peralihan ke penanggalan baru yang dirintis oleh mendiang Gaius Iulius Caesar, dan salah satu bulan dalam penanggalan baru ini ia beri nama Augustus (bulan Agustus).[69] Augustus menghantarkan Roma memasuki kurun waktu damai dan sejahtera, yang dikenal dengan sebutan Pax Augusta atau Pax Romana. Augustus wafat pada tahun 14 M, tetapi kejayaan kekaisaran tetap bertahan sepeninggalnya.

Wangsa Iulia-Claudia tetap menguasai tampuk pemerintahan Roma sepeninggal Augustus, dan terus berkuasa sampai dengan wafatnya Nero pada tahun 68 M.[70] Semua anak emas Augustus yang ia gadang-gadangkan menjadi penggantinya sudah lebih dahulu wafat pada masa tua Augustus, yakni kemenakannya, Marcellus, yang wafat pada tahun 23 SM, perwira sahabatnya, Agrippa, yang wafat pada tahun 12 SM, dan cucunya, Gaius Caesar, yang wafat pada tahun 4 M. Atas bujukan istrinya, Livia Drusilla, Augustus menetapkan anak tirinya, Tiberius, anak Livia Dusilla dari suami terdahulu, menjadi ahli warisnya.[71]

Senatus menyetujui keputusan Augustus, dan melimpahi Tiberius dengan gelar-gelar dan kehormatan-kehormatan yang pernah mereka berikan kepada Augustus, yakni gelar princeps dan pater patriae (Bapa Tanah Air), serta corona civica (mahkota warga berjasa). Kendati demikian, Tiberius bukanlah seorang pemerhati urusan politik. Sesudah bermufakat dengan senatus, ia berlibur panjang ke pulau Capri pada tahun 26 M,[72] dan membebankan urusan pemerintahan kota Roma ke pundak para Praefectus Praetorio (hulubalang Praetoriani), yakni Seianus (sampai tahun 31 M) dan Macro (dari tahun 31 sampai tahun 37 M). Tiberius dipandang sebagai seorang durjana pemurung, dan dicurigai sebagai dalang pembunuhan kerabatnya yang dicintai rakyat, Senapati Germanicus pada tahun 19 M,[73] serta anak kandungnya sendiri, Drusus Iulius Caesar pada tahun 23 M.[73]

Tiberius wafat (atau tewas dibunuh)[73] pada tahun 37 M. Ahli waris laki-laki wangsa Iulia-Claudia kala itu adalah Claudius (kemenakan Tiberius), Tiberius Gemellus (cucu Tiberius), dan Caligula (anak dari kemenakan Tiberius). Karena Tiberius Gemellus masih kanak-kanak, Caligula pun terpilih menjadi kepala negara yang baru. Ia adalah penguasa yang dicintai rakyat selama paruh pertama masa pemerintahannya, tetapi berubah menjadi tiran yang kasar dan sinting saat menguasai pemerintahan.[74][75] Menurut sejarawan Suetonius, Caligula melakukan hubungan sedarah dengan saudari-saudari kandungnya, membunuh sejumlah orang hanya untuk bersenang-senang, dan mengangkat seekor kuda menjadi consul.[76] Laskar Praetoriani membunuh Caligula empat tahun sesudah Tiberius wafat,[77] dan dengan dukungan para senator, mereka mengelu-elukan paman Caligula, Claudius, sebagai kaisar yang baru.[78] Claudius bukanlah penguasa yang sewenang-wenang seperti Tiberius dan Caligula. Ia menaklukkan Likia dan Trake. Tindakannya yang paling penting adalah merintis usaha penaklukan Britania.[79] Claudius tewas diracun istrinya, Agrippina Muda pada tahun 54 M.[80] Ahli waris Claudius adalah anak tirinya, Nero, putra Agrippina Muda dari suami terdahulu, karena anak kandung Claudius, Britannicus, belum cukup umur saat ditinggal mati ayahnya.

Nero memerintahkan Senapati Suetonius Paulinus untuk menginvasi daerah yang kini menjadi wilayah Wales. Invasi bangsa Romawi disambut bangsa pribumi dengan perlawanan gigih. Orang Kelt yang mendiami daerah itu adalah suku bangsa yang mandiri, tangguh, berani mengusir pemungut cukai Romawi, dan nekat memerangi Suetonius Paulinus saat menerobos dari timur ke barat. Ia harus berjuang dalam waktu yang lama sebelum berhasil mencapai daerah pesisir barat laut, dan pada tahun 60 M, ia akhirnya berlayar menyeberangi Selat Menai menuju pulau keramat Mona (sekarang Anglesey), benteng terakhir kaum druid.[81][82] Bala tentara Romawi menyerbu Pulau Mona, membantai kaum druid, penduduk lelaki, perempuan, maupun kanak-kanak,[83] menghancurkan tempat-tempat suci dan hutan-hutan larangan, serta membuang banyak tugu batu keramat ke laut. Manakala Paulinus dan bala tentaranya membantai kaum Druid di Mona, suku-suku yang berdiam di daerah yang sekarang disebut Anglia Timur bangkit memberontak di bawah pimpinan Boadicca, ratu orang Ikeni.[84] Para pemberontak menjarah dan membumihanguskan Camulodunum (Colchester), Londinium (London), dan Verulamium (St Albans) sebelum akhirnya diberantas Paulinus.[85] Sama seperti Kleopatra, Ratu Boadicca memilih bunuh diri daripada dipermalukan bangsa Romawi dengan cara diarak dalam pawai kemenangan di Roma.[86] Tanggung jawab Nero atas pemberontakan ini masih dapat diperdebatkan, tetapi tetap saja berdampak (positif maupun negatif) pada kewibawaan rezimnya.

Nero sudah umum dikenal sebagai penganiaya utama umat Kristen, dan dikenang karena peristiwa kebakaran besar di kota Roma, yang menurut desas-desus direkayasa sendiri oleh Nero.[87][88] Nero membunuh ibunya pada tahun 59 M, dan membunuh istrinya, Claudia Octavia, pada tahun 62 M. Kaisar yang tidak pernah tetap pendiriannya ini membiarkan para penasihatnya menjalankan pemerintahan, sementara ia sibuk menuruti hawa nafsu, berfoya-foya, dan bertingkah gila-gilaan. Nero kawin sampai tiga kali, dan bermain serong dengan banyak laki-laki maupun perempuan, bahkan konon dengan ibu kandungnya. Aksi makar pada tahun 65 M di bawah pimpinan Calpurnius Piso tidak berhasil menjatuhkan Nero, tetapi pada tahun M, angkatan bersenjata Romawi di bawah pimpinan Julius Vindex di Galia dan Servius Sulpicius Galba di Hispania melakukan pemberontakan. Nero, yang ditinggalkan laskar Praetoriani dan dipidana mati oleh senatus, akhirnya bunuh diri.[89]

Wangsa Flavia adalah wangsa kedua yang menguasai tampuk pemerintahan Roma.[90] Pada tahun 68 M, tahun kemangkatan Nero, belum ada peluang untuk menegakkan kembali pemerintahan Republik Romawi, sehingga seorang kaisar baru harus dipilih untuk mengepalai pemerintahan. Sesudah hingar-bingar Tahun Empat Kaisar berlalu, Titus Flavius Vespasianus mengambil alih tampuk pemerintahan dan membentuk wangsa penguasa yang baru. Pada zaman wangsa Flavia, Roma meneruskan usaha perluasan wilayahnya, dan keamanan negara dapat terus dipertahankan.[91][92]

Aksi militer terpenting pada zaman wangsa Flavia, adalah aksi pengepungan dan penghancuran kota Yerusalem pada tahun 70 oleh Titus Flavius Vespasianus. Penghancuran kota Yerusalem merupakan puncak dari aksi militer Romawi di Yudea menyusul pemberontakan bangsa Yahudi pada tahun 66. Sesudah bangunan Bait Allah kedua dihancurleburkan, bala tentara Titus mengelu-elukannya sebagai imperator untuk menghargai keberhasilan memimpin aksi militer di Yudea. Yerusalem dijarah rayah, dan sebagian besar warganya terbunuh atau mengungsi. Menurut sejarawan Titus Flavius Iosephus, ada 1.100.000 korban tewas akibat aksi pengepungan, sebagian besar di antaranya adalah orang Yahudi.[93] 97.000 orang ditanggap dan dijadikan budak belian, termasuk Simon bar Giora dan Yohanes asal Giskala. Banyak orang mengungsi ke daerah-daerah sekitar Laut Tengah. Titus kabarnya menolak anugerah mahkota kemenangan, dengan alasan "tidak ada hebat-hebatnya menghancurkan bangsa yang sudah ditinggal Tuhannya sendiri".

Vespasianus berpangkat senapati pada masa pemerintahan Claudius dan Nero. Bersama putranya, Titus, ia memimpin bala tentara Romawi dalam Perang Yahudi-Romawi I. Pada Tahun Empat Kaisar yang penuh huru-hara, yakni tahun 69 M, empat orang kaisar silih berganti menduduki singgasana, yakni Galba, Otho, Vitellius, dan akhirnya Vespasianus, yang menghancurkan bala tentara Vitellius dan menjadi kaisar.[94] Ia membangun ulang berbagai bangunan yang tidak kunjung rampung dikerjakan, misalnya sebuah patung dewa Apollo dan kuil Divus Claudius (Dewata Claudius), yang dibangun atas prakarsa Nero. Bangunan-bangunan yang rusak dimakan api dalam peristiwa kebakaran besar di kota Roma dibangun kembali, dan Bukit Capitolium direvitalisasi. Vespasianus juga memprakarsai pembangunan Gelanggang Pertunjukan Flavianus (bahasa Latin: Amphitheatrum Flavium), yang lebih lazim dikenal dengan sebutan "Koloseum" (gedung arca raksasa).[95] Sejarawan Flavius Iosephus dan Plinius Tua berkarya pada masa pemerintahan Vespasianus. Vespasianus adalah penyandang dana Flavius Iosephus, dan Plinius Tua mendedikasikan karya tulisnya yang berjudul Naturalis Historia kepada Titus, putra Vespasianus. Vespasianus mengerahkan berlegiun-legiun prajurit Romawi untuk mempertahankan tapal batas wilayah timur di Kapadokia, memperpanjang masa pendudukan Romawi di Britania (sekarang Inggris, Wales, dan kawasan selatan Skotlandia) dan memperbaharuai sistem perpajakan. Ia mangkat pada tahun 79 M.

Masa pemerintahan Titus tidak berlangsung lama. Ia menjadi kaisar dari tahun 79 M sampai tahun 81 M. Ia menuntaskan pembangunan Amphitheatrum Flavium, yang didanai dengan hasil jarahan dari Perang Yahudi-Romawi I, dan menggelar berbagai pertunjukan ketangkasan selama seratus hari untuk merayakan kemenangan Romawi atas bangsa Yahudi. Pertunjukan-pertunjukan ini meliputi laga gladiator, lomba balap kereta, dan perang-perangan laut yang sensasional di dalam kolam buatan di Koloseum.[96][97] Titus wafat setelah menderita demam pada tahun 81 M, dan digantikan oleh adiknya, Domitianus. Domitianus memerintah secara totaliter,[98] menganggap dirinya Augustus yang baru, bahkan berusaha agar dirinya disembah-sembah laksana dewa. Domitianus memerintah selama 15 tahun, dan masa pemerintahannya ditandai oleh usaha-usahanya menyamakan diri dengan dewa-dewa. Ia mendirikan paling sedikit dua buah kuil tempat orang menyembah Iuppiter, dewa tertinggi menurut kepercayaan bangsa Romawi. Ia juga senang disebut "Dominus et Deus" (tuan dan dewa).[99]

Tata susila dan budi pekerti

Sama seperti peradaban-peradaban kuno lainnya, peradaban Romawi Kuno juga memiliki konsep-konsep tata susila dan budi pekerti yang jauh berbeda dari anutan masyarakat Zaman Modern, kendati ada pula unsur-unsur yang sama. Peradaban-peradaban masa lampau seperti Romawi Kuno senantiasa dibayang-bayangi ancaman serangan suku-suku perampok, sehingga wajar jika peradaban-peradaban ini memiliki budaya kewiraan, dan sangat menghargai kecakapan bertempur.[219] Jika masyarakat Zaman Modern menganggap belas kasihan sebagai kebajikan, maka masyarakat Romawi Kuno justru menganggapnya sebagai kebejatan akhlak. Malah salah satu tujuan utama digelarnya pertunjukan laga gladiator adalah untuk membuat rakyat kebal terhadap kelemahan ini.[219][220][221] Kendati demikian, bangsa Romawi Kuno sangat menghargai keberanian dan ketabahan (virtus), rasa tanggung jawab terhadap sesama, ugahari dan irit (moderatio), pengampunan dan tenggang rasa (clementia), sifat tegas (severitas), serta sifat berbakti (pietas).[222]

Bertolak belakang dari anggapan umum, masyarakat Romawi Kuno sesungguhnya memiliki norma-norma penertib berahi yang tegas dan berakar kuat, kendati seperti banyak masyarakat lain, kaum perempuanlah yang lebih banyak dibebani aturan. Kaum perempuan pada umumnya diharapkan untuk bersuami hanya sekali seumur hidup (univira), kendati norma ini tidak begitu dipatuhi oleh perempuan-perempuan kalangan atas, terutama pada zaman kekaisaran. Kaum perempuan diharapkan untuk tampil santun di muka umum, menghindari dandanan yang mencolok, setia berbakti kepada suami (pudicitia), dan diharapkan mengenakan kerudung demi menjaga sopan santun. Sanggama di luar ikatan perkawinan pada umumnya dipandang keji, baik bagi laki-laki maupun perempuan, bahkan diharamkan pada zaman kekaisaran.[223] Kendati demikian, praktik pelacuran diperbolehkan dan diatur dengan undang-undang.[224]

Berakhirnya zaman republik

Seusai mengalahkan Makedonia dan Kekaisaran Wangsa Seleukos pada abad ke-2 SM, orang Romawi menjadi bangsa yang paling unggul di Laut Tengah.[40][41] Penaklukan kerajaan-kerajaan Helenistik ini kian mendekatkan budaya Romawi dengan budaya Yunani, sehingga membuat para petinggi Romawi meninggalkan peri kehidupan khas orang desa, lalu mulai bergaya hidup mewah dan berperilaku layaknya warga kota besar. Dari sudut pandang militer, Roma kala itu adalah sebuah kekaisaran yang padu, dan tidak punya musuh besar.

Dominasi asing menimbulkan pertikaian di dalam negeri. Para senator menggelembungkan pundi-pundi pribadi dengan mengisap kekayaan provinsi-provinsi jajahan. Para prajurit, yang kebanyakan adalah petani-petani kecil, harus menjalani masa bakti yang lebih lama di luar negeri sehingga ladang-ladang mereka terbengkalai. Meningkatnya ketergantungan terhadap tenaga budak belian dan pertambahan jumlah latifundium mempersempit peluang kerja bagi tenaga kerja upahan.[42][43]

Pendapatan negara dari jarah, merkantilisme di provinsi-provinsi baru, dan sistem ijon menciptakan peluang-peluang ekonomi baru bagi para hartawan, sehingga muncullah suatu golongan baru dalam masyarakat, yakni kalangan saudagar yang disebut Eques (kesatria).[44] Lex Claudia (Undang-Undang Claudius) melarang anggota-anggota senatus untuk berkiprah di bidang perniagaan, sehingga kendati kaum Eques secara teori boleh menjadi anggota senatus, kiprah mereka di bidang politik sangat dibatasi.[44][45] Senatus tak henti-hentinya berbantah-bantahan, berulang kali menghalangi usaha-usaha reformasi agraria yang penting, dan menolak memberi peluang yang lebih besar bagi kaum Eques untuk urun rembuk dalam urusan pemerintahan.

Gerombolan-gerombolan warga kota pengangguran, yang dikendalikan oleh senator-senator yang saling bersaing, mengintimidasi para pemilih dengan kekerasan. Keadaan semacam ini mencapai puncaknya pada akhir abad ke-2 SM, manakala Gracchus bersaudara, dua orang tribun adik-beradik, memperjuangkan pengesahan dan penerapan undang-undang reformasi pertahanan, yang mengatur tentang pembagi-bagian kembali tanah-tanah milik kaum Patricius kepada kaum Plebs. Gracchus bersaudara tewas dibunuh orang, dan senatus meloloskan rancangan undang-undang baru yang mementahkan kembali semua jerih payah Gracchus bersaudara.[46] Peristiwa ini menimbulkan keretakan hubungan yang terus melebar di antara kaum Plebs (kubu populares) dan kaum Eques (kubu optimates).

Runtuhnya Kekaisaran Romawi Barat

Pada akhir abad ke-4 dan abad ke-5, wilayah barat Kekaisaran Romawi memasuki masa genting yang berakhir dengan runtuhnya Kekaisaran Romawi Barat.[139] Di bawah kepemimpinan kaisar-kaisar terakhir dari wangsa Constantiniana dan wangsa Valentiniana, Roma kalah telak dalam pertempuran melawan Kekaisaran Wangsa Sasan dan suku-suku barbar Germanika. Kaisar Iulianus Si Murtad gugur dalam Pertempuran Samara melawan Persia pada tahun 363, sementara Kaisar Valens gugur dalam Pertempuran Adrianopolis melawan orang Goth pada tahun 378. Sesudah menang perang, orang Goth tidak kunjung dapat dienyahkan maupun berbaur dengan masyarakat Kekaisaran Romawi.[140] Kaisar berikutnya, Theodosius I (379–395), kian memperkukuh agama Kristen, dan setelah ia mangkat, Kekaisaran Romawi dibagi menjadi Kekaisaran Romawi Timur dan Kekaisaran Romawi Barat, masing-masing dipimpin oleh Arcadius dan Honorius, kedua putranya.

Keadaan menjadi kian genting pada tahun 408, sepeninggal Stilicho, senapati yang berikhtiar mempersatukan kembali kekaisaran yang terbagi dua dan berjasa mengusir suku-suku bangsa barbar yang menginvasi wilayah kekaisaran pada tahun-tahun permulaan abad ke-5 M. Angkatan bersenjata lapangan yang profesional hancur berantakan. Pada tahun 410, zaman wangsa Theodosiana, orang Visigoth menyerbu dan menjarah rayah kota Roma.[141] Pada abad ke-5, Kekaisaran Romawi Barat mengalami penyusutan wilayah kedaulatan. Orang Vandal menaklukkan Afrika Utara, orang Visogoth menduduki kawasan selatan Galia, orang Suebi merebut Hispania Galisia, Britania ditelantarkan pemerintah pusat, dan Kekaisaran Romawi dirongrong invasi-invasi Attila, pemimpin orang Hun.[142][143][144][145][146][147] Senapati Orestes menolak memenuhi tuntutan-tuntutan suku-suku barbar "sekutu", yang kala itu merupakan bagian dari angkatan bersenjata kekaisaran, dan berusaha mengusir mereka dari Italia. Tindakan Orestes membuat Odoacer, pemimpin suku-suku barbar sekutu, naik pitam. Odoacer mengalahkan sekaligus menewaskan Orestes, menginvasi Ravenna, dan menggulingkan Kaisar Romulus Augustus, putra Orestes. Peristiwa yang terjadi pada tahun 476 ini biasanya dianggap sebagai tonggak sejarah penanda batas antara Abad Kuno dan Abad Pertengahan.[148][149] Mantan kaisar keturunan ningrat yang digulingkan Orestes, Yulius Nepos, terus memerintah selaku kaisar di Dalmatia, bahkan sesudah penggulingan Romulus Augustus, sampai mangkat pada tahun 480. Beberapa sejarawan berpandangan bahwa Iulius Neposlah Kaisar Romawi Barat yang terakhir, bukan Romulus Augustus.[150]

Setelah merdeka selama kurang lebih 1200 tahun, dan adidaya selama hampir 700 tahun, negara bangsa Romawi di belahan Dunia Barat akhirnya runtuh.[151] Semenjak saat itu pula muncul berbagai macam pendapat mengenai sebab-musabab runtuhnya Roma, antara lain akibat hilangnya bentuk pemerintahan republik, kemerosotan akhlak, tirani militer, perang antargolongan, perbudakan, kemandekan ekonomi, perubahan lingkungan, wabah penyakit, kemerosotan ras Romawi, serta pasang surut yang sudah menjadi suratan takdir semua peradaban. Ketika Kekaisaran Romawi Barat tumbang, banyak di antara kaum pemeluk agama asli mengambinghitamkan agama Kristen dan kemerosotan agama warisan leluhur bangsa Romawi sebagai biang keladinya; sejumlah pemikir rasionalis pada Zaman Modern menyalahkan perubahan dari agama kepahlawanan ke agama anti kekerasan yang menyusutkan jumlah prajurit sebagai biang keladinya; sementara tokoh-tokoh Kristen, semisal Agustinus dari Hipo, berpendapat bahwa lantaran berkubang dalam dosa-dosa, maka bangsa Romawi sendiri yang patut disalahkan.[152]

Kekaisaran Romawi Timur lain lagi nasibnya. Kekaisaran ini bertahan selama hampir 1000 tahun setelah runtuhnya Kekaisaran Romawi Barat, dan menjadi negara Kristen yang paling stabil sepanjang Abad Pertengahan. Pada abad ke-6, Kaisar Yustinianus I berhasi merebut kembali semenanjung Italia dari orang Ostrogoth, Afrika Utara dari orang Vandal, dan kawasan selatan Hispania dari orang Visigoth. Kendati demikian, beberapa tahun sepeninggal Yustinianus, wilayah kekuasaan Romawi Timur di Italia dipersempit oleh orang Lombardi yang masuk dan bermukim di jazirah itu.[153] Kekaisaran Romawi Timur tetap memegang kekuasaan atas porsi yang cukup signifikan di semenanjung Italia, termasuk kota Roma sendiri di bawah Eksarkat Ravenna, sampai 751 M. Di Timur, dampak wabah Yustinianus dan Perang Romawi–Persia (602–628 M) melemahkan posisi kekaisaran yang membuka gerbang bagi kedatangan Islam. Para pemeluk agama baru tersebut bergerak cepat menaklukkan Syam, Armenia, dan Mesir semasa berlangsungnya perang-perang Arab-Romawi Timur, dan tak lama kemudian mengincar Konstantinopel sendiri.[154][155] Pada abad berikutnya, bangsa Arab juga berhasil menguasai kawasan selatan Italia dan pulau Sisilia.[156] Di sebelah barat wilayah Kekaisaran Romawi Timur, suku-suku Slav juga berhasil menerobos masuk sampai jauh ke Jazirah Balkan.

Meskipun demikian, Kekaisaran Romawi Timur mampu membendung gerak ekspansi Islam ke wilayahnya pada abad ke-8. Bahkan semenjak abad ke-9, Kekaisaran Romawi Timur sanggup pula merebut kembali daerah-daerah yang sudah ditaklukkan bala tentara Islam.[154][157] Pada tahun 1000 M, Kekaisaran Romawi Timur sedang jaya-jayanya. Kaisar Basilius II menaklukkan Bulgaria dan Armenia, kebudayaan dan perniagaan pun berkembang.[158] Namun laju ekspansi mendadak terhenti pada tahun 1071, setelah Romawi Timur terkecundang dalam Pertempuran Manzikert. Kekalahan ini menggiring Kekaisaran Romawi Timur memasuki kurun waktu kemerosotan. Setelah dua dasawarsa dirongrong kemelut di dalam negeri dan invasi orang Turk, Kaisar Alexius I akhirnya meminta pertolongan kerajaan-kerajaan Eropa Barat pada tahun 1095.[154] Eropa Barat menanggapi permintaannya dengan memaklumkan Perang Salib, yang justru berujung pada peristiwa Penjarahan Konstantinopolis oleh laskar-laskar Perang Salib IV. Jatuhnya Konstantinopolis ke tangan laskar-laskar Perang Salib pada tahun 1204 mengakibatkan Kekaisaran Romawi Timur terpecah belah menjadi banyak negara kecil; yang paling kuat di antaranya adalah Kekaisaran Nicaea.[159] Sesudah bala tentara kekaisaran berhasil merebut kembali Konstantinopolis, keadaan Kekaisaran Romawi Timur hanya sedikit lebih bagus dari sekadar sebuah negara Yunani yang terpojok di pesisir Laut Aigea. Kekaisaran Romawi Timur akhirnya runtuh sesudah kota Konstantinopolis ditaklukkan oleh Mehmed Sang Penakluk pada tanggal 29 Mei 1453.[160]

Roma adalah kota terbesar di Kekaisaran Romawi, dengan populasi kira-kira 450.000 sampai hampir satu juta jiwa.[161][162][163] Ruang-ruang publik di kota Roma dibisingkan derap kuda dan gelingsir roda-roda kereta yang terbuat dari besi sampai-sampai Gaius Iulius Caesar pernah mengusulkan agar kereta dilarang berlalu-lalang pada siang hari. Perkiraan sejarah menunjukkan bahwa sekitar 20% dari populasi yang tunduk di bawah daulat Romawi Kuno (25–40%, tergantung tolok ukurnya, di Jazirah Italia)[164] berdiam di kota-kota yang tak terbilang jumlahnya, dengan populasi 10.000 jiwa ke atas, dan di sejumlah permukiman militer; tingkat urbanisasi yang sangat tinggi menurut tolok ukur praindustri. Sebagian besar dari kota-kota ini memiliki forum (alun-alun), kuil-kuil, dan bangunan-bangunan lain seperti yang terdapat di kota Roma. Angka harapan hidup kira-kira 28 tahun.[165]

Cikal bakal asas-asas dan praktik-praktik hukum Romawi Kuno adalah Undang-Undang Dua Belas Loh yang diundangkan pada tahun 449 SM, dan hukum-hukum bangsa Romawi yang dikodifikasikan atas titah Kaisar Iustinianus I sekitar tahun 530 M. Corpus Iuris Civilis (Khazanah Hukum Rakyat), hasil dari pengodifikasian hukum-hukum bangsa Romawi ini tetap diberlakukan pada zaman Kekaisaran Romawi Timur, dan menjadi dasar dari pengodifikasian serupa di kawasan barat daratan Eropa. Hukum Romawi, dalam arti luas, terus diberlakukan di hampir seluruh pelosok Eropa sampai akhir abad ke-17.

Himpunan hukum bangsa Romawi Kuno, sebagaimana termaktub dalam kitab undang-undang hukum Kaisar Iustinianus dan kitab undang-undang hukum Kaisar Theodosius, terdiri atas tiga kelompok utama, yakni Ius Civile, Ius Gentium, dan Ius Naturale. Ius Civile (adat rakyat) adalah serangkaian hukum yang wajib ditaati warga negara Romawi.[166] Praetor Urbanus (penghulu warga kota) adalah pejabat negara yang berwenang mengadili perkara-perkara yang melibatkan warga negara. Ius Gentium (adat bangsa-bangsa) adalah serangkaian hukum yang berlaku bagi orang-orang asing dan urusan-urusannya dengan warga negara Romawi.[167] Praetor Peregrinus (penghulu warga asing) adalah pejabat negara yang berwenang mengadili perkara-perkara yang melibatkan warga negara dan warga asing. Ius Naturale (adat kodrati) adalah serangkaian hukum yang dianggap berlaku bagi seluruh umat manusia.

Gaius Iulius Caesar dan Triumviratus I

Pada pertengahan abad pertama SM, perpolitikan Romawi Kuno dilanda kemelut. Gelangang politik di Roma menjadi ajang pertarungan dua kubu, yakni kubu Populares yang hendak mencari dukungan rakyat, dan kubu Optimates yang hendak mempertahankan hak istimewa kaum ningrat sebagai penyelenggara negara. Lucius Cornelius Sulla menyingkirkan semua tokoh pimpinan kubu Populares, dan usaha perombakan undang-undang dasar yang dilakukannya menghilangkan semua kewenangan (misalnya kewenangan Tribunus Plebis, tribunus dari kaum Plebs) yang mendukung kubu Populares. Sementara itu, tekanan sosial dan ekonomi terus meningkat. Roma telah berubah menjadi sebuah metropolis yang dihuni kalangan ningrat kaya raya, para pemburu kekuasaan yang terlilit utang, dan sehimpunan besar kaum buruh yang sering kali terdiri atas petani-petani miskin. Kelompok-kelompok masyarakat kalangan buruh mendukung rencana makar Senator Lucius Sergius Catilina. Rencana makar gagal terlaksana lantaran Consul Marcus Tullius Cicero buru-buru menangkap dan menghukum mati para pemimpin gerakan makar.

Di tengah segala ingar-bingar ini muncul Gaius Iulius Caesar, tokoh dari kalangan ningrat yang tidak bergelimang harta. Bibinya yang bernama Iulia adalah istri Gaius Marius,[49] sementara ia sendiri menunjukkan keberpihakan pada kubu Populares. Demi mendapatkan kekuasaan, Gaius Iulius Caesar mendamaikan dua tokoh terkuat di Roma yang saling berseteru, yakni Marcus Licinius Crassus, yang sudah banyak berjasa memberi bantuan dana kepadanya saat baru merintis karier, dan Gnaeus Pompeius, yang ia ambil jadi menantu. Bersama kedua orang kuat Roma ini, ia membentuk sebuah persekutuan tidak resmi yang disebut Triumviratus (ketriwiraan). Rancangan ini memuaskan semua pihak. Marcus Licinius Crassus, hartawan terkaya di Roma, menjadi semakin kaya dan akhirnya berhasil menduduki jabatan senapati tinggi, Gnaeus Pompeius kian leluasa mempengaruhi senatus, sementara Gaius Iulius Caesar sendiri mendapatkan jabatan consul dan jabatan senapati di Galia.[50] Selama masih seiya sekata, ketiga tokoh ini adalah penguasa-penguasa de facto Republik Romawi.

Pada tahun 54 SM, putri Gaius Iulius Caesar, istri Gnaeus Pompeius, wafat saat bersalin, sehingga terputuslah satu mata rantai pengikat persekutuan triwira. Pada tahun 53 SM, Marcus Licinius Crassus menginvasi Partia dan gugur dalam Pertempuran Haran. Triumviratus pun tercerai berai dengan wafatnya Marcus Licinius Crassus, yang sebelumnya menjadi penengah antara Gaius Iulius Caesar dan Gnaeus Pompeius Magnus. Tanpa kehadirannya, kedua senapati ini pun mulai saling sikut berebut kekuasaan. Gaius Iulius Caesar menaklukkan Galia, menghimpun harta berlimpah, dihormati di Roma, dan dijunjung tinggi oleh legiun-legiun yang sudah kenyang asam garam pertempuran. Ia pun kian dipandang sebagai lawan berat oleh Gnaeus Pompeius, dan dibenci banyak tokoh kubu Optimates. Karena yakin bahwa Gaius Iulius Caesar dapat dijegal dengan cara-cara yang sah, para kaki tangan Gnaeus Pompeius bersiasat memisahkan Gaius Iulius Caesar dari legiun-legiunnya sebagai langkah awal dari usaha menyeretnya ke hadapan mahkamah, memiskinkannya, dan menjatuhkan hukuman buang padanya.

Untuk melawan nasib buruk yang sudah menunggunya, Gaius Iulius Caesar memimpin pasukannya menyeberangi Sungai Rubico dan menginvasi Roma pada tahun 49 SM. Gnaeus Pompeius dan para kaki tangannya kabur meninggalkan Jazirah Italia, diburu Gaius Iulius Caesar. Pertempuran Farsalos adalah kemenangan yang gilang gemilang bagi Gaius Iulius Caesar. Dalam pertempuran ini dan dalam aksi-aksi militer lainnya, ia menyingkirkan seluruh tokoh pimpinan kubu Optimates, yakni Metellus Scipio, Cato Muda, dan putra Gnaeus Pompeius yang juga bernama Gnaeus Pompeius. Gnaeus Pompeius senior tewas terbunuh di Mesir pada tahun 48 SM. Dengan demikian, tinggal Gaius Iulius Caesar seorang diri menjadi orang kuat Roma sekaligus sasaran kebencian banyak tokoh ningrat. Ia diserahi banyak jabatan dan dianugerahi banyak penghargaan. Hanya dalam lima tahun, ia sudah menduduki jabatan consul sebanyak empat kali, jabatan diktator biasa sebanyak dua kali, dan jabatan diktator istimewa sebanyak dua kali, yang pertama untuk masa jabatan sepuluh tahun, sedangkan yang kedua untuk seumur hidup. Ia tewas dibunuh komplotan Liberator pada hari Idus Martiae (hari Purnama bulan Maret) tahun 44 SM.[51]

Gaius Marius dan Lucius Cornelius Sulla

Gaius Marius, seorang homo novus, yang belum lama terjun ke bidang politik berkat sokongan keluarga Metellus, tampil menjadi salah seorang tokoh pemimpin Republik Romawi, ketika terpilih menjadi consul untuk pertama kalinya pada tahun 107 SM, setelah mengemukakan bahwa mantan induk semangnya, Quintus Caecilius Metellus Numidicus, tidak mampu mengalahkan dan meringkus Iugurtha, Raja Numidia. Sesudah terpilih, Gaius Marius pun mulai melaksanakan usaha-usaha reformasi di bidang militer. Ketika membentuk pasukan dalam rangka memerangi Iugurtha, ia merekrut para warga termiskin (suatu inovasi), dan banyak pula warga tak berlahan yang diterima menjadi prajurit. Kebijakan semacam ini memupuk kesetiaan bala tentara pada senapati. Seumur hidupnya, Gaius Marius terpilih menjadi consul sebanyak tujuh kali. Belum pernah ada orang sebelum Gaius Marius yang terpilih kembali menjadi consul sampai tujuh kali.

Ketika itulah Gaius Marius mulai bertikai dengan Lucius Cornelius Sulla. Gaius Marius, yang hendak menangkap Iugurtha, meminta Bocchus, menantu Iugurtha sendiri, untuk menyerahkan Iugurtha kepadanya. Ketika niat Gaius Marius tidak tercapai, Lucius Cornelius Sulla, yang kala itu adalah salah seorang perwira bawahan Gaius Marius, nekat menerjang bahaya demi dapat bertatap muka secara langsung Bocchus dan berhasil membujuknya untuk untuk menyerahkan Iugurtha. Keberhasilan Lucius Cornelius Sulla sangat menggusarkan Gaius Marius karena sekian banyak seterunya terus-menerus memanas-manasi Lucius Cornelius Sulla untuk menentangnya. Kendati demikian, Gaius Marius tetap saja terpilih menjadi consul sampai lima kali berturut-turut dari tahun 104 sampai dengan tahun 100 SM, karena Roma masih membutuhkan kehadiran seorang pemimpin militer untuk menundukkan orang Kimbri dan orang Teuton, yang mengancam ketenteraman Roma.

Sesudah Gaius Marius pensiun, Roma untuk beberapa waktu lamanya dapat menikmati masa damai. Pada kurun waktu inilah para socius (sekutu) di Italia meminta pengakuan dan hak suara selaku rakyat Republik Romawi. Tokoh pembaharu, Marcus Livius Drusus, mendukung pengabulan permintaan mereka melalui undang-undang tetapi ia tewas dibunuh orang, dan para socius bangkit memberontak melawan Roma dalam Perang Sekutu. Ketika kedua consul gugur, Gaius Marius diangkat menjadi panglima perang bersama-sama dengan Lucius Iulius Caesar dan Lucius Cornelius Sulla.[47]

Seusai Perang Sekutu, Gaius Marius dan Lucius Cornelius Sulla menjadi tokoh-tokoh militer terkemuka di Roma, dan para pendukung mereka saling berseteru memperebutkan kekuasaan. Pada tahun 88 SM, Lucius Cornelius Sulla terpilih menjadi consul untuk pertama kalinya, dan tugas perdananya adalah mengalahkan Mitridates VI dari Pontus, yang berniat menguasai bagian timur dari wilayah kekuasaan bangsa Romawi. Kendati demikian, para pendukung Gaius Marius berhasil memperjuangkan pengangkatannya menjadi senapati di luar kemauan Lucius Cornelius Sulla maupun senatus, sehingga mengobarkan amarah Lucius Cornelius Sulla. Demi mengukuhkan kekuasaannya sendiri, Lucius Cornelius Sulla mengambil suatu langkah yang mengejutkan sekaligus melanggar hukum, yakni memimpin perbarisan legiun-legiunnya menuju Roma, membunuh semua orang yang menunjukkan keberpihakan pada Gaius Marius, menancapkan kepala korban-korbannya pada galah, lalu dipajang di Forum Romanum. Pada tahun berikutnya, yakni tahun 87 SM, Gaius Marius, yang tadinya lari menghindari aksi militer Lucius Cornelius Sulla, pulang ke Roma selagi Lucius Cornelius Sulla sibuk berperang di Yunani. Ia merebut kekuasaan bersama-sama dengan consul Lucius Cornelius Cinna, membunuh consul yang satunya lagi, yakni Gnaeus Octavius, dan menjadi consul untuk ketujuh kalinya. Dengan maksud membangkitkan amarah Lucius Cornelius Sulla, Gaius Marius dan Lucius Cornelius Cinna membantai orang-orang yang mendukung Lucius Cornelius Sulla sebagai bentuk balas dendam atas pembantaian para pendukung Gaius Marius.[47][48]

Gaius Marius wafat pada tahun 86 BC, karena usia yang sudah lanjut maupun akibat kondisi kesehatan yang memburuk, hanya beberapa bulan sesudah merebut kekuasaan. Lucius Cornelius Cinna berkuasa mutlak sampai wafat pada tahun 84 SM. Sepulangnya dari medan perang di bagian timur wilayah kekuasaan Romawi, Lucius Cornelius Sulla dengan leluasa mengukuhkan kekuasaannya. Pada tahun 83 SM, untuk kedua kalinya ia memimpin perbarisan menuju Roma dan meneror seisi kota. Ribuan patricius, eques, dan senator dieksekusi mati. Lucius Cornelius Sulla juga menjadi diktator sampai dua kali masa jabatan, dan menjadi sekali menjadi consul. Masa pemerintahannya merupakan pangkal dari krisis dan kemerosotan Republik Romawi.[47]

Zaman kekaisaran – pemerintahan para dominus

Pada tahun 284 M, Diocletianus dimasyhurkan sebagai imperator oleh angkatan bersenjata kawasan timur. Diocletianus memulihkan kekaisaran dari krisis, melalui perubahan haluan politik dan ekonomi. Suatu bentuk pemerintahan yang baru pun dibentuk, yakni tetrarchia (catur rajya). Wilayah Kekaisaran Romawi dibagi menjadi empat bagian, dua di kawasan barat dan dua di kawasan timur, masing-masing diperintah oleh seorang kaisar. Keempat serangkai yang pertama adalah Diocletianus (di timur), Maximianus (di barat), serta dua orang kaisar-muda, yakni Galerius (di timur) dan Flavius Constantius (di barat). Demi memperbaiki perekonomian negara, Diocletianus melakukan sejumlah pembaharuan perpajakan.[130]

Diocletianus mengusir bangsa Persia yang merajalela di Suriah, dan menaklukkan sejumlah suku barbar bersama Maximianus. Diocletianus meniru banyak perilaku raja-raja Dunia Timur, misalnya mengenakan perhiasan dari mutiara serta berjubah dan berterompah kencana. Setiap orang yang menghadap kaisar pun diwajibkan bersujud menyembah seturut adat Dunia Timur, yang belum pernah dipraktikkan di Roma sebelumnya.[131] Diocletianus tidak lagi berpura-pura bahwa negara masih berbentuk republik, sebagaimana yang dilakukan kaisar-kaisar pendahulunya semenjak Augustus berkuasa.[132] Antara tahun 290 dan tahun 330, setengah lusin kota ditetapkan menjadi ibu kota baru oleh kaisar-kaisar empat serangkai, baik secara resmi maupun tidak, yakni Antiokhia, Nikomedia, Tesalonika, Sirmium, Milan, dan Trier.[133] Diocletianus juga bertanggung jawab atas aksi aniaya besar-besaran terhadap umat Kristen pada masa pemerintahannya. Pada tahun 303, Diocletianus dan Galerius memulai aksi aniaya tersebut, memerintahkan penghancuran rumah-rumah ibadat dan kitab-kitab agama Kristen, serta mengharamkan peribadatan Kristen.[134] Diocletianus turun takhta pada tahun 305 M bersama-sama dengan Maximianus. Dengan demikian, ia adalah Kaisar Romawi pertama yang melepaskan jabatannya. Masa pemerintahannya menyudahi era pemerintahan kaisar-kaisar pendahulunya, yakni pemerintahan para princeps (ketua), dan mengawali era pemerintahan yang baru, pemerintahan para dominus (tuan besar).